Archive for February, 2018

“Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya.”


- Ali Bin Abi-Thalib –

 

 

Kalimat itu menjadi pegangan Edy Fajar Prasetyo, dalam mencintai buku. Bagi anak kelima pasangan Tupon Amat Iksan dan Ratna Nirmala Ningsih, buku adalah Jendela Dunia. Dengan membaca buku kita bisa melanglang buana kemanapun kita suka. Tidak berlebihan jika kutipan Ali bin Abi Thalib membuat kita menyadari bahwa meluangkan membaca buku dengan rileks dan santai akan membawa kita pada kebahagiaan dan membuka wawasan.

Namun di era sekarang ini, Edy menyadari di tengah maraknya gadget dan perangkat gawai atau smarthphone di mana-mana, kecendrungan orang membaca buku kian menurun. Masyarakat lebih senang membaca berita dari media online atau berita hoax sehingga mudah terprovokasi.  Indonesia memiliki tingkat yang rendah dalam kemampuan membaca buku dibanding negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand dan Singapura, hal ini tentu memprihatinkan.

Salah satu cara untuk meningkatkan minat literasi atau kemampuan membaca buku yang dilakukan pemerintah adalah menggalakkan pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di berbagai wilayah Indonesia, termasuk mencari siapa pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di ajang Apresiasi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidkan Masyarakat (Dikmas) Berprestasi dan Berdedikasi Tingkat Nasional 2017 yang berlangsung di Bengkulu, 9-15 Juli 2017 lalu. Tahun ini yang terpilih menjadi juara adalah Edy Fajar Prasetyo CHc, CHt dari TBM Serambi Tangerang Selatan.

Memadukan Taman Bacaan Masyarakat dan Lingkungan Hijau

Konsep yang digagas TBM Serambi sangat unik dan keren. Bagaimana tidak, saat ini pemerintah sedang mengkampanyekan tentang lingkungan yang hijau dan mengantisipasi perubahan iklim. Dimana-mana masyarakat sedang berolahraga dan berkebun, mengurangi bahan dasar kelapasawit untuk minyak dan kosmetika dan minyak goreng dan pola hidup go green. Edy pun tidak mau kalah, setelah menyelesaikan kuliah di jurusan Agribisnis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Eddy mendirikan TBM Serambi dengan memadukan hobi membaca dengan kepedulian terhadap Lingkungan Hidup.

Lahir dikeluarga yang sederhana mengajarkan Edy banyak hal bahwa “melakukan yang terbaik” dalam aspek apapun menjadi kunci kita bisa bangkit dan merubah keadaan yang ada.  “Nilai tersirat itu saya sering temukan dari aktivitas Bapak sebagai buruh swasta dan ibu sebagai ibu rumah tangga yang selalu tulus ikhlas dalam berikhtiar,” ujarnya bangga pada didikan orangtuanya.

Begitu juga dalam mengelola TBM Serambi yang berlokasi di pamulang Tangerang selatan yang nota bene cukup dekat dengan teritorial yang maju, karena kondisi masyarakat yang heterogen dan dekat dengan atmosfer akademisi. Namun hal ini tidak selaras dengan beberapa kondisi yang ditemui pada generasi belia dan muda kita yang mengalami krisis figur. Banyak dari generasi muda saat ini yang belum memiliki arah dan tujuan, padahal ini menjadi krusial karena apabila mereka tidak memilikinya maka tidak ada gairah untuk mengalami setiap dinamika kehidupan yang mereka hadapi.

Oleh karenanya TBM Serambi memfasilitas melalui penyediaan berbagai buku buku pengembangan diri sejak usia dini untuk mampu memberi stimulan bagi para pembacanya dalam menemukan pilihan terbaik dari segi cita cita, impian, harapan dan niat mulia lainnya. Lalu Edy menginisiasi upaya kolaboratif dengan para profesional untuk berbagi “inspirasi” kepada masyarakat.

Edy menyadari jika Kota Tangerang Selatan adalah kota yang padat penduduk, bahkan menduduki peringkat ke 10 kota terpadat di Indonesia. Hal ini menjadi masalah besar karena akan menghasilkan sampah yang banyak. “Saya berpikir keras bagaimana agar sampah dapat dijadikan potensi lokal yang bermanfaat bagi hidup manusia,” ujarnya sambil menerawang.

Setiap sampah yang distimulano oleh Edy dan teman-teman untuk dapat dipilah dari rumah tangga #GPS “Gerakan Pilah Sampah” kemudian dapat didayagunakan dan diperanjang usia pakainya dengan cara recycle dan upcycle. Maka melalui Inovasi Participatory Rural Appraisal dengan menggunakan media buku-buku tentang keterampilan mendaur ulang sampah plastik, pengelola mengajak warga memanfaatkan sampah plastik ini menjadi barang yang berguna.“Tujuannya untuk membantu merangsang minat para ibu kepada buku dengan merujuk kepada buku yang dapat dipraktekkan langsung, yaitu mengolah sampah non organik, juga dimaksudkan untuk dapat memberdayakan,” ujar lelaki berkacamata yang hobi traveling ini menegaskan.

Strategi Pengelolaan TBM  Berkelanjutan Berlandaskan Participatory Rural Appraisal (PRA)

Melalui Inovasi Participatory Rural Appraisal pengelola TBM Serambi, merubah paradigma negatif dari sampah menjadi hal yang lebih memiliki value yakni “SAMPAH” berarti Selalu Akan Mudah apabila Ada Harapan.

Berdasarkan pengalaman yang ia miliki selama ini mengelola TBM, lelaki kelahiran Jakarta 17 September 1992 ini membuat Karya Nyata berjudul “Inovasi Strategi Pengelolaan TBM Berkelanjutan Berlandaskan Participatory Rural Appraisal (PRA) Untuk Mewujudkan Masyarakat Gemar Membaca Yang Pandai, Piawai Dan Persona” di Bengkulu 9-15 Juli 2017.

Karyanya ini memikat juri karena konsep TBM Serambi termasuk baru,  ecogreen dan sangat layak untuk diterapkan di daerah lain dalam rangka menghadapi perubahan iklim global. Apa yang diperoleh Edy adalah pencapaian yang selama ini banyak diusahakan para pengelola TBM di seluruh Indonesia.

Ikhlas dalam Berikhtiar

Selain mengelola TBM Serambi, Edy memang memiliki kemampuan lain yang tidak kalah membanggakan. Edy yang sejak kecil bercita-cita menjadi pengusaha ini juga seorang penulis buku “Kami Berani Beda” (Young Social entrepreneur Indonesia)danConsultant (Green Social Creative Entrepreneurship). Meskipun memiliki banyak aktivitas dan kegiatan TBM, Edy tetap bersahaja dan rendah hati. “Menjadi juara I sungguh di luar ekspektasi, saya sangat berterimakasih pada semua pihak yang telah membantu saya selama ini,” ujarnya penuh syukur.

Lelaki yang memiki prinsip hidup “Sebaik baik insan adalah yang paling bermanfaat” kedepan ia memiliki banyak rencana jangka panjang yang ingin dilaksanakan di usianya yang masih muda. Namun apa pun yang dilakukannya dia selalu ingat yang diajarkan orangtuanya. “Saya ingin seperti kedua orangtua saya yang selalu tulus ikhlas dalam berikhtiar,” ungkapnya sepenuh hati. (ER)

Edy Fajar Prasetyo CHc, CHt, Juara I Pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) pada Apresiasi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidkan Masyarakat (Dikmas)  Berprestasi dan Berdedikasi Tingkat Nasional 2017

NB:
Mulai hari ini dan seterusnya ada dua kategori baru yaitu, Perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Serambi milik Edy Fajar Prasetyo adalah tulisan pertama berkaitan dengan Taman Bacaan.

Jakarta, 28 Februari 2018
Pukul 09.13

Sosok Pemalu, Pejuang Ahimsa

Posted: February 27, 2018 by Eva in Buku dan Media
Tags:

Resensi Buku
Judul : Mahatma Gandhi (Sebuah Autobiografi)
Kisah tentang Eksperimen- eksperimen Saya Terhadap Kebenaran
Penulis : M.K.Gandhi
Judul asli: An Autobiography or The True Story of  My Experiment with Truth
Alih Bahasa : Andi Tenry W
Penyunting : Lilih Prilian Ari Pranowo
Penerbit : Narasi, Jogjakarta
Edisi : I, 2009

“Dunia menghancurkan debu di bawah kakinya, namun pencari kebenaran haruslah merendahkan diri sehingga debu saja akan bisa menghancurkannya.”- Mohandas Karamchand Gandhi, Ashram Sabarmati, 26 November 1925.

Buku bersampul kuning gading ini diawali dengan kata pengantar yang penuh perasaan tentang awal kisah penulis, Mohandas Karamchand Gandhi, seorang advokat dan tokoh pemimpin terkemuka dari India. Gandhi, menyanggupi menulis autobiografi atas permintaan rekan kerjanya. Saat awal menulis, kerusuhan di Bombay pecah sehingga harus berhenti. Sebagian besar dia menuangkan kisah pribadinya saat di penjara di Yeravda.

Sampul Buku

Gelar “Mahatma yang Melukai”

Sempat ada kegamangan dalam diri Gandhi, apakah ia harus menulis atau tidak sebuah autobiografi. Karena ada anggapan bahwa orang yang telah membentuk tingkah laku mereka berdasarkan pengaruh kata-kata Anda, yang dikatakan maupun dituliskan, bisa tertipu? Bukankah lebih baik bagi Anda untuk tidak menulis apapun yang menyerupai sebuah autobiografi, untuk saat ini?”. Argumen ini sangat memengaruhi jiwanya, namun dia memiliki alasan lain kenapa autobiografi penulis ini ada.

“Saya yakin atau bagaimanapun juga membujuk diri saya bahwa kaitan nilai dari semua eksperimen ini pasti memiliki nilai tambah bagi pembaca, eksperimen saya dalam bidang politik sekarang tak hanya diketahui di India, tapi mencapai batas tertentu dari dunia yang “beradab”. Gelar “Mahatma” (orang yang sangat bijaksana dan suci,ed) yang telah mereka sematkan pada saya, memiliki nilai, karenanya, yang lebih rendah. Kerap kali gelar tersebut melukai saya secara mendalam,” ungkapnya jujur.

Gandhi merasakan betul bagaimana dalam hidupnya hampir tidak ada waktu yang menyenangkan untuk dirinya. Ia menarasikan bahwa eksperimennya dalam dunia spiritual hanya diketahui secara pribadi, yang mana dari situlah ia mendapat kekuatan bekerja di dunia perpolitikan.

Menurut Ghandi, jika eksperimen itu sungguh-sungguh spiritual, tak kan ada ruang untuk memuji diri sendiri. “Semakin banyak saya bercermin dan melihat kembali ke masa lalu, semakin jelas saya merasaan keterbatasan saya,” katanya merendah.

Sebagai sebuah autobiografi, buku ini sangat bagus untuk dibaca dengan sepenuh hati. Meskipun sangat tebal, namun buku yang terdiri dari lima bab ini setiap bab dipaparkan dengan singkat dan lugas. Setiap tutur katanya halus dan sangat hati-hati. Dia menjabarkan beberapa istilah dengan halus seperti kata eksperimen untuk pengalaman, atau kebutuhan jasmani untuk kebutuhan seksual.

Anak Pemalu yang mengawali karir sebagai pengacara

Di awal bab satu, Gandhi menceritakan asal usul keluarganya yang berasal dari Kasta Bania, yang merupakan keluarga pedagang. Namun selama tiga generasi, mulai dari kakek hingga ayahnya menjadi perdana menteri di beberapa negara bagian Kathiawad. Sang ayah, Karamchand Gandhi atau Kaba Ghandi adalah anggota Dewan Rajasthnik.

Kaba Ghandi menikah empat kali berturut-turut setiap kali kehilangan istri karena meninggal dunia. Beliau memiliki dua orang putri dari pernikahan pertama dan kedua. Istri terakhir beliau, Pulitbai, memberinya seorang putri dan tiga orang putra. Ghandi adalah anak ketiga atau yang paling muda.

Ayahnya Kaba Ghandi adalah seorang penyayang dalam marganya, pecinta kebenaran, pemberani dan murah hati, namun pemarah. Ibunya, Pulitbai adalah sosok yang sangat religius. Tak pernah berpikir untuk makan sebelum melakukan sembahyang harian. Dia selalu melakukan Chaturmas (Ikrar untuk berpuasa dan semi puasa selama empat bulan musim penghujan).

“Ibu saya memiliki pengetahuan yang amat luas, beliau sangat memahami segala masalah negara, dan para wanita di dewan sangat mengagumi kecerdasannya,” tuturnya di bab awal. Dari pasangan inilah Ghandi lahir di Porbandar atau dikenal Sudamapuri pada 2 Oktober 1869.

Masa kecil Ghandi termasuk anak yang biasa saja dan sempat pindah sekolah mengikuti tugas ayahnya. Namun, sejak kecil dia termasuk sosok yang pemalu. “Saya sedemikian pemalu dan menghindari semua teman. Buku-buku dan pelajaran adalah teman sejati saya. Saya selalu berlari jika pulang, karena saya tak berani berbicara dengan siapapun. Saya bahkan khawatir kalau-kalau ada orang yang menertawakan saya,” tuturnya di halaman 7.

Sebagai seorang anak bungsu, Ghandi tidak dapat tunduk pada ayahanda. Dia terpaksa menikah muda. Cerita tentang pernikahan dini terasa pilu. Dengan terus terang dia sebenarnya sangat tidak ingin menceritakan bab ini.

“Saya sangat tidak berharap menulis bab ini, karena harus menelan pil pahit selama menulis. Akan tetapi jika saya pemuja kebenaran, saya tak bisa melakukannya. Adalah tugas yang menyakitkan untuk menuliskan tentang pernikahan waktu usia saya tiga belas tahun,” halaman 10.

Pada bab-bab berikutnya cerita Ghandi kian menarik bergulir indah. Setiap tutur katanya acapkali membuat kita berdebar, bahkan berdegup kencang. Kisah cintanya terhadap sang istri yang lugu, Kasturbai. Ikrar setia pasangan muda ini terasa indah yang dituturkan dengan bagus pada bab IV bagian I berjudul “Memerankan Peran Suami”.

“Jika saya harus sanggup bersetia pada istri, maka ia juga harus sanggup bersedia pada saya, pemikiran itu membuat saya menjadi seorang suami pencemburu, jelas saya tidak punya alasan untuk mencurigai kesetiaan istri saya, namun rasa cemburu tidak menunggu datangnya alasan,” ucap Gandhi.

Kecemburuan ini berlanjut saat Gandhi muda melanjutkan studi di Inggris. Sejak muda dia terlatih menjadi vegetarian. Bahkan terpilih menjadi Komite Eksekutif Perkumpulan Vegetarian.

Kesulitan praktik sebagai seorang pengacara, menarik untuk di simak di bagian XXV tentang ketidak berdayaannya mempelajari hukum. Ghandi telah mempelajari hukum, tapi tidak belajar bagaimana cara mempraktikkan hukum.

“Saya telah membaca dengan penuh minat “legal maxims” (peribahasa-peribahasa hukum, ed), tetapi tidak tahu bagaimana cara mengaplikasikannya dalam profesi saya. “Sic utere tuo ut alienum non laedas” (memanfaatkan kekayaanmu sebaik mungkin agar tidak mengganggu milik orang lain, ed),’ hlm 116.

Mantra Sebuah Buku dan Pengalaman di Penjara

Meskipun sempat mengalami hambatan dalam mempelajari ilmu hukum. Pada bab-bab berikutnya cerita semakin menarik karena berhasil menangani beberapa klien dan mengunjungi Afrika Selatan. Pada bagian empat, pada bab yang berjudul “Mantra Sebuah Buku” Ghandi menjelaskan tentang beberapa hal yang harus dilakukan dan dihindari dalam bekerja. Tidak hanya bekerja sebagai pengacara tapi juga dalam bekerja sosial.

Konsistensinya sebagai seorang pengabdi kebenaran betul-betul di uji dalam keseharian. “Sekarang saya sadar jika seorang pekerja sosial tidak boleh mengucapkan pernyataan yang belum ia pastikan terlebih dahulu. Di atas semua itu, seorang pengabdi kebenaran harus melatih kehati-hatian yang besar. Selain mengkritisi beberapa media asing dan India, sebuah buku juga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hidup Ghandi.

Salah seorang teman bernama Tuan West (Gandhi memanggilnya), memberinya sebuah buku untuk dibaca sepanjang perjalanan di kereta yang ia katakan jika membaca buku ini, Gandhi pasti menyukainya. Judul buku itu adalah “Unto The Last” Karya Ruskin. Saat itu ia sedang berada di Afrika Selatan.

Buku ini sangat bagus, menurut Ghandi, buku itu berhasil merubah hidupnya. “ Buku ini mencengkeram saya, Johannes-Durban merupakan perjalanan selama dua puluh empat jam. Kereta itu sampai di sana pada malam hari. Saya tidak bisa tidur malam itu. Saya memutuskan untuk mengubah hidup saya menurut konsep ini,” halaman 432.

Bagi Gandhi ini merupakan buku Ruskin pertama yang ia baca. Selama masa pendidikan ia praktis tidak membaca apapun selain buku-buku teks. Bagaimanapun Gandhi menyadari jika dia mengalami kerugian karena pembatasan yang dipaksakan ini. Gandhi pun menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Gujarat, memberinya judul Sarvodaya (kesejahteraan untuk semua).

Selain pengalamannya bergulat dengan buku, pada bab lain, Gandhi juga menceritakan tentang pengalamannya di penjara pada tahun 1908, ditulis pada bab bejudul Satyagraha Domestik. Gandhi melihat beberapa peraturan yang harus dipatuhi para tahanan juga seharusnya secara sukarela dipatuhi oleh seorang “Brahmachari”, yaitu orang yang berniat melaksanakan pengendalian diri.

Peraturan-peraturan itu, contohnya adalah peraturan yang mengharuskan makanan terakhir dihabiskan sebelum matahari tenggelam. Baik tahanan India maupun tahanan India maupun Afrika tidak boleh minum kopi dan lain sebagainya.

Perkembangan politik di India banyak di kupas di bab V. Dari mulai Shantiniketan, Para Penumpang kelas tiga, Kumbha Mela,, Lakshman Jhula, Pendirian Ashram, Ketiga Gubernur Baik Hati, Hasrat untuk bersatu, Navajivan dan Young India, khilafat Lawan perlindungan Sapi, Kongres Amritsar, Kampanye Perekrutan, Dialog yang mengandung pelajaran dan lain sebagainya.

Saya tidak akan banyak menyoroti permasalahan politik di India. Karena pembahasannya saya sangat panjang, sehingga membacanyapun agak sedikit sukar karena kurang paham sejarah dan bahasa gujarat yang beraneka macam membuat saya harus membolak balik buku dan mencari makna. Bagi yang mengikuti sejarah India, tentu menarik karena permasalahan masa itu sangat pelik. Dari wabah hitam, kemiskinan petani, hingga pegawai kontrak.

Resolusi mengenai persatuan Hindu Muslim, penghapusan kaum paria dan khadi juga diajukan ke dalam kongres ini, semenjak menjadi amggota Kongres yang beragama Hindu telah menerima tanggung jawab untuk melepaskan agama Hindu dari kutukan kaum paria, dan Kongres telah menetapkan ikatan hubungan yang nyata dengan “kerangka” India melalui Khadi. Pemilihan tidak bekerjasama demi khilafat sendiri merupakan sebuah usaha praktis yang hebat yang dilakukan oleh Kongres untuk mewujudkan persatuan Hindu-Muslim.

Gandhi menguasai beragam agama di luar Hindu, yaitu Islam dan Kristen. Secara terbuka dia menulis dengan sederhana, beberapa ajaran agama yang ia pelajari, termasuk Al-Qur’an dan Bible (injil).

“Saya membeli Qur’an terjemahan Sale dan mulai membacanya. Saya juga mendapatkan buku-buku tentang Islam lainnya. Saya berkomunikasi dengan kawan-kawan Nasrani di Inggris, salah satunya Edward Maitland dan berkorespondensi dengannya. Ia mengirimkan saya “The Perfect Way” dan “The New Interpretation of Bible” (Penafsiran Baru dari Injil),” tulis Gandhi dalam autobiografinya.

Selain itu Gandhi atau ada juga orang yang memanggilnya Bapu, menyukai karya-karya Tolstoy seperti “The Kingdom of God is Within You”. Juga beberapa buku lokal India seperti Panchikaran, Maniratmala, Mumuksu Prakaran dan Yogavasistha.

Empat Ajaran Utama M.K Gandhi

Dalam pembahasannya berkaitan dengan perjuangan Gandhi selama ini, setiap upaya perjuangan yang dilakukan, ada upaya yang sangat kuat dari Gandhi untuk membela penduduk India dari kemiskinan.
Dalam setiap rangkaian kehidupannya, Gandhi sebagai tokoh perdamaian dikenal dengan empat prinsip perdamaian. Yakni pertama, Bramkhacharya (mengendalikan hasrat seksual), Satyagraha (Kekuatan kebenaran dan cinta), Swadeshi (memenuhi kebutuhan sendiri) dan Ahimsa (tanpa kekerasan terhadap semua mahluk).

Satu hal yang menjadi ciri khas Gandhi adalah empatinya merasakan penderitaan rakyat. Meskipun menangani kasus-kasus besar di beberapa negara, namun kemana-mana ia lebih senang berjalan kaki dan naik kereta kelas ekonomi sejak kuliah di Inggris dan menjadi pemimpin berpengaruh di India. Begitu juga dalam berpakaian, dia memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki para pemimpin lain di dunia. Wujud kesederhanannya sangat terpatri di dalam benak rakyat India.

Menurut Gandhi, Kebenaran hanya akan diikuti oleh perwujudan Ahimsa sepenuhnya. Untuk bisa melihat universalitas dan penyebarluasan Roh Kebenaran secara langsung, maka seseorang harus bisa mencintai mahluk terjahat sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan orang yang mencita-citakan hal itu tak sanggup menghindar dari perjuangan dalam hidup.

“ Itulah sebabnya pengabdian saya kepada kebenaran telah telah menarik saya ke bidang politik; dan saya bisa berkata tanpa ragu, tapi dalam segala kerendahan hati, bahwa mereka yang mengatakan jika agama tak ada hubungannya dengan politik tak tahu apa arti agama,” tulis Gandhi mengejutkan saya di bab penutup.

Perjuangannya dalam menegakkan kebenaran dilakukannya hingga akhir hayat. Dengan satir dia menulis. “ Biarlah ratusan orang macam saya ini mati, namun biarkan kebenaran menang, janganlah kita mengurangi standar kebenaran bahkan sehelai rambut pun dalam menilai mahluk fana yang berdosa ini,” pungkasnya.

Teladan Gandhi memang sangat fenomenal, luar biasa. Banyak sekali buku yang membahas tentang sosok dia.

Bahkan, seorang sejarawan Amerika Serikat, Stanley Wolpert, menulis buku yang ia pelajari dari autobiografi M.K.Ghandi ini berjudul Gandhi’s Passion The Life an Legacy of Mahatma Gandhi yang diterbitkan oleh Penerbit Raja Grafindo Jakarta dengan judul “Mahatma Gandhi Sang Penakluk Kekerasan,” yang terbit pada tahun 2002 disertai dengan kisah yang tragis di akhir hidupnya.

Buku autobiografi ini memang sudah sulit dicari. Saya menemukannya tidak sengaja di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten. Di Perpustakaan ini ada beberapa biografi tokoh dari Hitler, Bung Karno, hingga Jack Ma. Mungkin bisa didapati juga di perpustakaan atau di toko buku.

Jakarta, 27 Februari 2017
Pukul 15.31

Pantun di Hari Selasa

Posted: February 27, 2018 by Eva in Seni, Film dan Budaya

Di televisi dan radio sedang ramai iklan film “Benyamin Biang Kerok” tapi tayangnya masih lama awal Maret. Iseng-iseng di kereta berpantun sambil jalan.

Jalan-jalan ke pantai senggigi

Jalannya pelan lewat jembatan

Ayo Kawan kita bangun pagi

Nanti kamu kesiangan

 

Ikan lele ikan tenggiri

Di makan bersama di rumah makan

Ayo teman janganlah iri

Mari kita berjabat tangan

 

Makan cilok di hari rabu

Ciloknya basi kehujanan

Hari ini banyak yang nyabu

Jika ketangkep blingsatan

 

Sore-sore makan semangka

Enaknya makan dibelah-belah

Janganlah kawan berburuk sangka

Nanti hati kamu gelisah

 

Pagi-pagi ke Sukaraja

Mampir dulu di Sudimara

Ayo kawan mari bekerja

Bekerja dengan riang gembira

 

Stasiun Palmerah

27 Februari 2018

Pukul 08.33 WIB

Seperti debu, tajam menerpa mata
Aku tersentak dari lamunan
ketika kubuka tirai jendela
Seperti angin, lembut menyusup jiwa
Aku terpejam, kuhirup nafas dalam
di gerbang kotaku, Yogyakarta
Hari ini aku pulang, hari ini aku datang
bawa rindu, bawa haru, bawa harap-harap cemas
Masihkah debu jalanan menyapa gerak langkahku?
Masihkah suara cemara mengiringi nyanyianku?
Seperti bintang diam menunggu fajar
Aku berfikir untuk membangunkanmu
Di sini aku ditempa, di sini aku dibesarkan
Semangatku, keyakinanku, keberadaanku pun terbentuk
Masih aku pelihara kerinduanku yang dalam
Setiap sudutmu menyimpan derapku, Yogyakarta
Setiap sudutmu menyimpan langkahku, Yogyakarta

Diam

Posted: February 23, 2018 by Eva in Puisi

Perawakannya gempal dan beruban

Menyetir dengan fokus ke depan

Melaju kencang menerobos jalanan

Usai turun hujan

 

Mikrolet hijau ini berebut jalan

Dengan truk dan beragam kendaraan

Lampu berkilauan di sepanjang jalan

Kian lama kian benderang

 

Aku duduk di kursi depan

Melihat kiri kanan

Akan tetapi Bapak sopir mikrolet ini

Tetap diam sampai tujuan

 

Tak sepatah katapun terucap

Kecuali lokasi tujuan penumpang

Baginya diam adalah pilihan

Bisa jadi diam adalah perlawanan

 

Kebon Nanas-Serpong

23 Februari 2018

Pukul 21.06

Pada Akhirnya Kita Akan Pulang Sendirian

Posted: February 19, 2018 by Eva in Artikel

Minggu lalu ada berita duka bertubi-tubi dari Jogjakarta. Pada hari rabu, 6 September saya dikabari teman SMA, Nur Hartanti meninggal dunia karena kanker getah bening selama 2,5 bulan. Esok harinya 7 september ada Dewan Redaksi Pustaka Alvabet pada tahun 2004-2007 Pak Samsu Rizal Panggabean (SRP), meninggal karena sakit jantung, kemudian ayahnya Pak Bae, Mas Iyung, Mas Togen Abah Rouf meninggal senin dinihari 11 September 2017.

Semua berita yang kudengar terlambat karena aku lagi non aktif facebook sementara. Ada banyak kesan yang mendalam tentang ketiga orang itu, Nur hartanti, sosok anak pendiam, rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri sejak pertama aku kenal. Namun orangnya baik hati dan ramah. Dia kuliah di Geografi UGM bersama Dyank Aflahah, Dewi Masithoh, Opik Indrawan dan Febri. Mereka anak IPA 1 SMA Muhammadiyah II Jalan Kapas.

Sedangkan Pak Rizal aku hanya sebentar mengenalnya, Aku diajak bekerja di Alvabet oleh Mas Ahmad Zaky Kopma UIN Suka, disana aku diperkenalkan sama Dewan Redaksi yang menyeleksi semua terjemahan Alvabet seperti Pak Rizal. Taufik Adnan Amal, Pak HBS, Pak IAF dan Pak Bae merupakan orang yang harus mengacc semua sampul depan dan belakang, proses editing, kualitas terjemahan dan mengusulkan buku-buku yang akan diterbitkan. Sedangkan Abah Rouf adalah orangtua dari Pak Bae, Owner Alvabet juga ayah dari Mas Nurul Huda (Iyung) dan Ahmad Sirajul Huda (Togen) mereka berdua pernah lama bekerjasama dengan kami di Alvabet sebagai marketing dan pemasaran.

Jumat malam aku ke Jogja sama mas Arif Takziyah, paginya dijemput mobil teh geugeu. Kita berdua langsung menuju Rejodani Ngaglik, setelah sebelumnya makan soto kudus di Condong Catur. Sesampainya disana ada istri almarhum Bu Luthfi, serta anak Pak Rizal yang baru pulang dari Jepang Sarah Fitri Panggabean dan anak keduanya Irvan serta anak Pak bae, Dede.

Baru kali ini aku ke Jogja gak bilang-bilang teman, aku hanya langsung ke TKP, usai takziyah dan berziarah, aku langsung pergi ke Ngawi.

Pulang dari Ngawi, aku berziarah ke makam Kyai Mufid Mas’ud Sunan Pandanaran, saya terpukau ternyata Pondok Pesantren Sunan Pandanaran berkembang pesat, sangat bagus dan luas serta hijau, santrinya banyak.

Usai dari jalan kaliurang saya mampir Condong Catur tapi tidak ada Teh Neng adanya Hoho sendirian, baru setelah itu Takziyah ke Nurhartanti di jalan Berbah Banguntapan Bantul. Rumahnya memanjang dan parkirnya luas, sayang suaminya Mas Sigit tidak ada di tempat karena sedang ke rumah orangtuanya di Semin Gunung Kidul mengajak refreshing anak-anaknya.

Sehabis itu saya pulang ke Bantul ke Teh Geugeu, ketemu ponakan dan makan bakso, jam 12 malam pulang ke Tugu naik kereta ke Bandung. Sampai Bandung jam 9 pagi, dan lanjut naik kereta ke gambir jam 10.35. Sampai Jakarta saya langsung naik gojek ke kantor ambil kamera dan segera meluncur ke Golden Butik Kemayoran, ada acara kantor sampai Rabu 13 September.

Hari selasa saya dikejutkan sama status bbm, ada kabar ayahnya Pak Bae, Mas Iyung dan mas Togen meninggal dunia, saya baca siang dan rencana malam mau takziyah ke Bekasi. Tapi apa daya acara sampai malam, saya sangat kelelahan, pulang, istirahat dan bangun subuh untuk segera naik kereta ke Bekasi, ternyata sekarang ke Bekasi cepat dan gampang tidak sampai 1 jam, rumah duka tidak jauh juga dari stasiun.

Sepanjang jalan saya melamun sendirian, ingat terakhir ketemu mas Iyung dan Mas Duyung di Rs Medistra Bekasi, Abah Rouf sehat dan masih bisa shalat meski sakit. Saya waan sama teh ing dan Rifky karena hp mas iyung dan togen ga aktif, saya tanya alamat rumah ke mama oi, akhirnya saya sampai di Sawah Indah bertemu Umi, mas iyung, Togen dan dua orang kakak mas Iyung yang ga begitu aku kenal. Mereka sangat kehilangan. Umi sekarang memakai kursi roda dan duduk diam. Tidak banyak cerita, terakhir almarhum jatuh di kamar mandi.

Dari situ saya berpikir bahwa pada akhirnya kita semua akan meninggal. Kita akan pulang sendirian.

Satu hal yang harus aku siapkan adalah bahwa kita semua harus rela ditinggalkan oleh orang – orang yang kita cinta.

“Manusia ini tak punya akar

Dia diterbangkan ke mana-mana

seperti debu yang berhamburan di jalanan.

Ke segala arah, bertumbukan dengan angin

Ia jatuh terguling-guling.

Memang hidup kita ini sangatlah pendek

Kita datang ke dunia sebagai saudara

Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?”

Sajak T’ao Ch’ien

 

catatan: Ini tulisan tahun lalu Bulan September 2017

Perempuan manis ini akrab dipanggil Novie oleh teman-temannya, berpenampilan ceria dan apa adanya. Sederet prestasi pernah diraih Novie, di bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat (Dikmas), meskipun dia memiliki latar belakang sarjana Pendidikan Agama Islam, tapi tidak menghalanginya untuk terus memajukan PAUD-DIKMAS.

Pada tahun 2009 Novie menyelesaikan pendidikan S1 jurusan pendiidikan Agama Islam di Universitas Islam As-Syafi’iyah, selepas itu dia mengajar di Taman Kanak-Kanak.

Pada tahun 2011, Novie mulai serius mengabdi di Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Tamansari Persada Kota Bekasi. Di PKBM Tamansari Persada Novie Jayanti Norma Sari mendapat kesempatan untuk selalu menambah ilmu, dan mengembangkan karya. Di bawah pimpinan yayasan Agus Basuki Yanuar dan Revita Tantri Yanuar yang selalu memberikan dukungan penuh atas semakin berkembang dan bermutunya para pendidik di PKBM Tamansari Persada, Novie juga belajar banyak berbagai ilmu terkait dengan pedidikan dari ilmu mengenai metode pembelajaran, cara mengenal karakter anak didik sampai adminstrasi guru dan berbagai ilmu lainnya. Hal ini membuat dirinya semakin berusaha untuk menjadi guru yang profesional.

Tahun 2017, enam tahun setelah Novie jatuh bangun menjadi tutor di PKBM Tamansari ini ia berhasil menorehkan prestasi membanggakan. Ia menjadi juara I tutor Paket B dengan judul karya ilmiah.

“Pembelajaran Tematik Melalui Kegiatan Pasar Rakyat untuk Meningkatkan Kecakapan Hidup Warga Belajar Paket B di PKBM Tamansari Persada,”Apresiasi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidkan Masyarakat (Dikmas) Berprestasi dan Berdedikasi Tingkat Nasional 8-15 Juli2017 di Bengkulu dan berhasil mengharumkan nama Kota Bekasi Jawa Barat.
Bakat Awal Novi mulai terlihat sejak SMA, perempuan kelahiran Jakarta 24 november 1987 ini sudah sejak SMA terinspirasi untuk pembelajaran yang menyenangkan agar saya tidak bosan untuk belajar.

“Alangkah menyenangkan sekali jika pembelajaran itu dilakukan dengan metode yang bervariasi. Berangkat dari keinginkan tersebut, saya begitu termotivasi untuk menjadi pendidik yang mampu mendidik dengan berbagai metode yang menyenangkan. Saat saya menempuh jenjang kuliah, saya semakin menyukai dunia pendidikan. Tertawa dan dapat berbagi ilmu dengan anak-anak membuat saya sangat bahagia,” ujarnya seraya tersenyum.

Menggagas Pelajaran yang menyenangkan dan Kearifan Lokal

Apa yang diangankan semasa SMA kini bisa di aplikasikan di PKBM Tamansari Persada. Novie menyadari betul, jika pada saat ini, perkembangan Kota Bekasi sangat pesat, banyak sekali berjamur pasar-pasar modern dan semakin tergerusnya pasar tradisional. Di PKBM Tamansari Persada, kami hadir dengan program yakni Pasar Rakyat dimana siswa belajar mengenal lebih dekat tentang kondisi daerahnya.

Melaui Pasar Rakyat Novie mengharapakan siswa mampu mengenal berbagai barang olahan tradisional baik dari makanan, minuman dan berbagai hal lainnya. Dalam pelaksanaannya Pasar rakyat menggunakan strategi pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu.

“Oleh karena itu, guru harus merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual yang menjadikan proses pembelajaran lebih efektif,” ujar anak dari pasangan Suparmin (wirausaha) dan Sutini yang bekerja sebagai guru PAUD di RW 09 Cipinang Melayu.

Satu hal yang yang menjadi masalah saat ini tidak hanya di Bekasi, di kota-kota lainnya adalah Fenomena di masyarakat saat ini, menyatakan bahwa lulusan yang baik adalah lulusan yang memiliki kecakapan akademik dengan nilai terbaik. Konsep bahwa hasil dari belajar hanyalah cukup dengan mengejar nilai akademik sudah tertanam di pemikiran warga belajar kami, padahal kenyataannya dalam kehidupan di masyarakat nantinya, begitu banyak berbagai kecakapan yang harus dicapai.

Menurut Novie Pembelajaran tematik mengarah pada pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja. Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila pengalaman-pengalaman belajar yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam memecahkan problematika kehidupannya. Pembelajaran tematik menyiapkan peserta didik dalam mengatasi problematika hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi dari permasalahan.

Pembelajaran tematik dapat saling terkait dengan konsep pembelajaran berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut.

Ingin Memberikan Kontribusi Pada Dunia Pendidikan dan Bermanfaat Buat Orang-orang disekitar

Penelitian dan materi yang dilakukan Novie sungguh menggembirakan dan memberikan manfaat bagi perkembangan PKBM Tamansari Persada. Setelah metode ini diterapkan peningkatan kreativitas pendidik melalui kegiatan Pasar Rakyat dalam pembelajaran tematik berbasis kearifan lokal merupakan karya nyata yang telah dilaksanakan di PKBM Tamansari Persada. “Metode ini memberikan pengaruh bagi pendidik guna menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan,” ujar perempuan yang punya hobi membaca dan berkebun ini.

Sehingga sangat beralasan kiranya juri memilih Novie menjadijuara I tutor paket B padaApresiasi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidkan Masyarakat (Dikmas) Berprestasi dan Berdedikasi Tingkat Nasional 2017 yang berlangsung di Bengkulu. Pada saat terpilih mengikuti lomba tingkat nasional yang akan dilaksanakan di Bengkulu. “Awalnya saya ragu untuk melanjutkan perjuangan ke nasional. Ada rasa khawatir akan mengecewakan dan tidak dapat memberikan yang terbaik. Namun berkat dukungan keluarga dan teman- teman serta orang-orang di sekitar saya, akhirnya saya bersemangat lagi,” ujarnya mengenang masa-masa perjuangannya.

Novie sangat berharap para tutor paket B di beberapa daerah di Indonesia, bisa rekomendasikan kepada semua pelaku pendidikan pada jenjang pendidikan kesetaraan paket B untuk bisa diterapkan di PKBM masing-masing. Kepada orang tua, hendaknya mampu memberikan kerjasama dan memotivasi anak agar tetap semangat berkarya.

“Kepada pihak sekolah, sekiranya dapat menfasilitasi media, dan alat penunjang pembelajaran yang dibutuhkan sehingga kendala yang dihadapi dapat teratasi dan warga belajar dapat belajar dengan maksimal” ungkap perempuan berjilbab ini penuh harap.

Meskipun menjadi juara bukan tujuan, tapi satu hal yang sangat diinginkan Novie dengan penelitian dan karya ilmiah yang dibuatnya adalah ingin hidup bermanfaat bagi orang sekitar, “Anugerah terindah dan pengalaman yang luar biasa yang takkan terlupakan seumur hidup saya. Dan hal ini juga merupakan amanah besar dari Allah pada saya untuk dapat lebih berkarya, memberikan kontribusi pada dunia pendidikan dan bermanfaat buat orang-orang disekitar,” pungkas Novie khidmat. (ER)

Novie Jayanti Normasari adalah juara I Tutor Paket B
pada Apresiasi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidkan Masyarakat (Dikmas) Berprestasi dan Berdedikasi Tingkat Nasional 2017