Archive for the ‘Ekonomi Bisnis’ Category

18 Kebiasan Buruk Mengelola Keuangan

Posted: February 23, 2012 by Eva in Ekonomi Bisnis

18 Kebiasan Buruk yang Membuat Anda Susah Kaya

Angga Aliya – detikFinance

Jakarta – Uang sering membuat orang pusing dari waktu ke waktu. Beberapa orang berusaha melakukan hal yang bisa membuat uang semakin berharga, namun beberapa orang justru malah membiarkan uangnya hilang begitu saja. Salah satunya adalah dengan melakukan beberapa hal tidak menguntungkan, seperti pemborosan dan tidak pernah menabung atau berinvestasi. Hal-hal percuma seperti ini yang membuat orang tidak sadar kalau kekayaannya akan lenyap dalam waktu singkat.

Berikut ini beberapa hal yang harus anda hindari atau berhenti lakukan jika sudah terjadi, karena bisa mengancam kesehatan finansial anda, seperti dikutip dari freefrombroke. com, Kamis (15/2/2012).

1. Tidak punya anggaran

Tidak punya anggaran sama sekali bisa berbahaya bagi kondisi finansial anda. Jangan sampai anda memutuskan untuk “pakai saja dulu uangnya, baru nanti kita hitung di akhir bulan.”

2. Tidak punya gambaran untuk pengeluaran bulanan

Belum punya catatan anggaran, setidaknya anda harus punya perkiraaan biaya pengeluaran per bulan. Gambaran dan catatan pengeluaran itu perlu karena akan ada beberapa biaya yang sering tanpa sadar anda keluarkan.

3. Tidak punya investasi yang menghasilkan

Anda bisa mengucapkan selamat tinggal kepada kondisi finansial anda karena akan segera mati jika tidak punya satu pun investasi yang menguntungkan, minimal yang bisa menghasilkan uang meski hanya sedikit. Jangan pakai internet hanya untuk belanja online, tapi juga cari informasi mengenai instrumen investasi, dan berinvestasilah!

4. Tidak menyadari perkembangan ekonomi terkini

Meski mereka mendewakan uang (untuk dihambur-hamburkan), orang yang boros tidak akan tahu mengenai perkembangan ekonomi terakhir. Eropa krisis, oh? Indonesia masuk investment grade, apa itu? Barulah setelah uangnya habis, mereka sadar bahwa kelakuannya sia-sia.

5. Tidak menikmati karirnya tapi diam saja

Jika anda tidak suka dengan karir yang anda jalani, jangan diam saja, masih banyak pilihan karir di luar sana yang siap anda garap. Jika diteruskan, selain tidak produktif juga tidak membuat anda nyaman dalam mencari uang.

6. Tidak punya prioritas dalam finansial

Tentu saja, hal pertama yang dia lihat akan dia beli untuk orang-orang yang suka boros. Mereka tidak punya prioritas dalam hidupnya, bahkan untuk menabung sekalipun.

7. Sering ganti-ganti mobil

Membeli mobil, baik itu kredit atau tunai sebaiknya dilakukan dengan rencana jangka panjang. Jangan sampai, anda cuma membeli mobil dengan perkiraan kalau anda bosan tinggal beli lagi. Jangan biarkan perasaan gengsi anda menang dalam posisi seperti ini. Tak usah sombong karena tidak bagus secara finansial.

8. Tidak merawat barang

Orang yang boros tidak hanya karena sering menghamburkan uang, tidak menghargai barang yang dibeli pakai uang termasuk pemborosan. Bahkan, orang yang malas merawat barang biasanya tidak mau memperbaiki sesuatu jika rusak, tapi memilih untuk beli yang baru. Itulah kenapa biasanya mereka punya mobil baru, komputer baru, handphone baru.

9. Membeli TV layar datar berukuran raksasa

Semua orang pasti ingin tv raksasa di rumah supaya bisa merasa punya bioskop pribadi. Tapi, kalau anda berpikir jernih, uangnya bisa dipakai untuk keperluan lain. Tak perlu memaksakan diri sampai mencicil segala. Memangnya tidak ada layar datar yang berukuran lebih kecil? Dan bukankah tv tabung juga masih tersedia? Atau anda merasa ketinggalan jaman dengan tv model lama?

10. Langganan TV Kabel Premium

Siapa yang tidak suka dengan acara-acara HBO atau Fox? Sah-sah saja jika anda ingin berlangganan channel tersebut, tapi jangan sampai anda ingin berlangganan seluruh channel yang disediakan oleh operator kabel. Bahkan, mereka akan memaksa anda berlangganan secara paket karena lebih murah, padahal tidak. Akui saja, tidak mungkin semua channel lainnya anda tonton juga setiap hari. Alangkah sayangnya jika anda menghabiskan Rp 1 juta sebulan hanya untuk tv berlangganan.

11. TV di setiap ruangan

Setelah punya tv raksasa dan TV berlangganan yang cukup mahal, anda masih ingin menikmati semua salurannya di setiap ruangan, maka anda memutuskan membeli TV untuk disimpan di tiap sudut rumah. Anda pasti senang menonton TV sampai tidak rela untuk ketinggalan setiap acaranya.

12. Sering makan di luar

Selain tidak sehat bagi tubuh, sering makan di luar juga membahayakan kesehatan finansial anda. Jangan sampai anda terbiasa disajikan makanan oleh orang lain padahal anda atau istri anda bisa menyiakan sendiri, dengan harga yang lebih murah.

13. Berganti-ganti ponsel

Sudah jelas, sering berganti-ganti ponsel (apalagi mengejar tren model terbaru) adalah pemborosan nomor wahid. Jika dipikir baik-baik, harga produk elektronik yang sudah dibeli tidak pernah naik, berbeda dengan rumah atau tanah. Nilai barang yang anda beli akan berkurang seiring waktu. Anda akan sangat rugi kalau mencicil ponsel, begitu lunas, nilai sebenarnya sudah jauh berkurang dari harga awal. Biasanya, orang-orang seperti ini selalu mengaku tidak rugi karena mendapat kepuasan dari gonta-ganti ponsel.

14. Tidak pernah berolahraga

Apa hubungannya berolahraga dengan kondisi keuangan? Banyak. Tubuh yang sehat adalah aset yang harus dijaga baik-baik. Semakin anda sehat, semakin banyak kesempatan mencari uang. Jika anda sakit-sakitan, selain susah mencari uang juga anda harus mengeluarkan uang banyak untuk biaya perawatan.

15. Sering belanja baru bermerek terkenal

Pakaian terbaru dengan merek terkenal selalu menjadi musuh finansial anda. Jangan sampai tergoda dan terjebak untuk membelinya kecuali anda benar-benar butuh. Anda butuh merek? Mungkin saja, untuk mereka yang ingin dipandang oleh orang lain. Sesuaikan merek dengan kebutuhan.

16. Banyak beli hadiah untuk hari raya

Pernah dengar cerita orang yang terjerat utang kartu kredit hanya gara-gara lebaran kemarin terlalu banyak membeli barang untuk dibagi-bagi keluarga dan tetangga di kampung? Berbagi itu indah dan menghubungkan tali silaturahmi, tapi bukan berarti anda harus berkorban begitu banyak bukan?

17. Upgrade komputer setiap tahun

Orang yang boros senang mengganti-ganti komponen komputer sesering bayi mengganti popok. Mereka selalu punya alasan untuk membeli komponen baru setiap beberapa bulan sekali. Ya anda betul, komputernya bahkan tidak dipakai untuk membantu pekerjaan.

18. Punya banyak gadget

Punya banyak alat-alat elektronik (gadget) yang terkadang dengan fungsi yang sama. Ingin dengar musik, punya iPod atau MP3 player. Ingin main game, punya iPod Touch atau Sony Playstation Portable (PSP). Ingin berselancar di internet, punya iPad atau Samsung Galaxy Tab. Ingin baca buku, punya Kindle atau Kobo eReader. Kalau dipikir-pikir, semua fungsi tersebut bisa ditemukan di satu ponsel pintar saja.

Kesimpulan:

Kebiasan-kebiasaan seperti ini merupakan kabar buruk bagi kondisi finansial anda. Jika setelah membaca ini anda menemukan poin yang ternyata pernah anda lakukan, evaluasi kembali dan lakukan perubahan positif dalam hidup anda.

Dikutip dari detik.com http://finance. detik.com/ read/2012/ 02/17/071558/ 1844709/

479/

Modal Uang Bukan segalanya

Posted: May 27, 2008 by Eva in Ekonomi Bisnis, Inspirasi

 

Modal Uang Bukan segalanya


Tak sedikit orang yang kalau ditanya kenapa tidak tertarik memulai
bisnis sendiri, jawabannya selalu ‘tidak punya modal uang untuk
memulai’. Demikian juga, kalau ada orang atau kawan yang sukses
membangun bisnisnya, cenderung mengatakan ‘ ya terang saja dia sukses
karena dia punya modal uang yang cukup. Yang terang saja bapaknya dia
kan anu, mertuanya begini begini… dan sebagainya”. Pendeknya, banyak
yang mengidap keyakinan bahwa modal uang adalah segalanya dalam
kesuksesan membangun bisnis. Kunci suksesnya sangat ditentukan pada
besarnya kepemilikan modal uang ini.

 

Sesungguhnya kalau kita tanya ke pengusaha sukses yang benar-benar
sukses – bukan pengusaha karbitan — modal uang itu memang penting,
namun bukan segala-galanya. Modal bukan satu-satunya penentu sukses.
Bahkan, dalam kenyataanya tak sedikit pengusaha yang sukses mesti
tanpa dukungan modal yang cukup. Kenapa? Karena, bagi mereka, yang
terpenting dalam bisnis adalah membangun nama baik dan trust ( di
hadapan mitra bisnis, konsumen, supplier, mitra pemodal, dll). Sudah
banyak bukti, banyak orang yang sebenarnya tidak punya uang modal,
tapi karena punya keahlian pada suatu bidang dan ia dipercaya oleh
orang alias ada orang lain yg trust kepadanya sehingga kemudian
menawari modal untuk memulai usaha. Jadi bukannya meminta, malah
ditawari modal.

Sejauh pengamatan saya bertemu pengusaha sukses dari perlbagai
kalangan, pebisnis yang punya pola pikir ‘modal uang adalah segalanya’
justru kemampuan untuk survive-nya lebih lemah dari yang lebih
mengedepankan kerja keras dan membangun trust. Lihatlah bisnis
anak-anak pejabat atau anak politisi yang biasanya hanya punya masa
jaya ketika orang tua atau patronnya masih berjaya di politik atau
pemerintahan. Ketika orang tuanya masih berjaya di panggung politik
atau pemerintahan, si anak mudah cari modal. Bisa minta si A, Si B,
menekan sana-sini, bahkan kalaupun pinjam kredit ke bank juga lebih
dimudahkan. Namun ketika orang tua atau patronnya lengser, ia menjadi
kehilangan separoh lebih daya saingnya (competitiveness) sehingga
bisnisnya pun makin memudar. Saya kira banyak sekali contoh seperti
itu, bahkan mungkin sangat dekat dengan lingkungan Bapak/Ibu sekalian
atau mungkin malah kawan Bapak/ibu sendiri.

 

Sebaliknya, saya punya beberapa relasi baik pengusaha yang modalnya
hanya beberapa juta atau ratus ribu rupiah, namun bisa sukses karena
pandai membangun trust dan mengedepankan kerja keras/tekun. Ada
kenalan saya pengusaha, namanyaPak Rudy Suardana. Kalau orang
Kalimantan Timur rasanya pasti akan kenal orang ini karena beliau
adalah main dealer untuk Suzuki di seluruh propinsi Kaltim, baik untuk
motor maupun mobil. Beliau juga pengembang (developer) yang membangun
Sudirman Square di Balikpapan, Kariangau Trade Center, Perumahan Bumi
Nirwana Asri, Sentra Samarinda Seberang, dll. Samekarindo Group
biasanya orang Kaltim tahu. Nah, beliau waktu memulai usaha modalnya
hanya dipercaya orang. Ada kawannya dealer di Surabaya yang meminta
dia menjualkan motor Suzuki ke relasi-relasi dia. Jadi polanya ia
membawa dagangan, dititipin oleh kawannya itu. Dia tak pakai modal.
Ini bisa terjadi karena kawannya itu sudah trust ke Pak Rudy sehingga
berani menitipkan dagangannya untuk dijualkann Pak Rudy. Dari situlah
ia kemudian berkembang menjdi pengusaha besar, padahal masa kecilnya
dibesarkan di panti asuhan. Ia tak hanya di otomotif namun juga properti.

Ada relasi saya lagi, namanya Bu Winita Kusnandar, beliau adalah
konsultan hukum bisnis terkemuka Jakarta yang perusahannya (Kusnandar
& Co) termasuk dalam Indonesian 10 Largest Law Firm di Indonesia.
Beliau sekarang juga punya bisnis pendidikan dan properti. Jangan
pikir ketika dulu memulai usaha dia punya modal banyak uang. Dia dulu
juga karyawan di perusahaan konsultan hukum pada umumnya yang kemudian
ditawarin oleh seorang konglomerat yang menjadi kliennya untuk buka
law firm sendiri. Jadi konglomerat yang jadi klien itu tahu reputasi
Bu Winita dan kemudian menawari ‘kenapa nggak buka law firm sendiri
saja?” sembari menawari pinjaman modal uang untuk sewa kantor di Jl
Rasuna Said. Dari situ Bu Winita pun sukses membangun law firmnya dan
kini bisnisnya sudah merambah ke properti, sekolahan, hotel, konsultan
manajemen dan keuangan, furnitur, dll.

 

Disini pesannya, modal uang bukan segalannya. Dalam membangun bisnis
yang lebih penting adalah memupuk nama baik dan trust. Anda boleh saja
bangkrut dan kehabisan modal, tapi percayalah, Anda masih bisa bangkit
bermodalkan nama baik dan trust orang lain kepada Anda. Saya kira
sangat banyak contoh akan hal ini. Bagi yang ingin melihat lebih dalam
bagaimana orang2 bermodal terbatas bisa sukses menjadi pengusaha
besar, silahkan baca buku ’10 PENGUSAHA YANG SUKSES MEMBANGUN BISNIS

 

DARI 0′, disusun Sudarmadi dan diterbitkan Gramedia. Di dalamnya juga
diulas ada kisah Pak Rudy Suardana dan Buku Winita Kusnandar yang
sempat saya singgung tadi.

Salam hormat dan semoga sukses untuk Bapak/Ibu sekeluarga. Amiin..

Sayap Baru si Golden Boy

Posted: November 1, 2007 by Eva in Ekonomi Bisnis, Inspirasi

para-group.jpg

TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007

Ekonomi dan Bisnis

TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007

Ekonomi dan Bisnis

Sayap Baru Si Golden Boy

Setelah menguasai bisnis keuangan dan media, Para Group milik Chairul Tanjung
mulai terjun ke penerbangan, perkebunan, gaya hidup, dan hiburan. Modal siapa di balik ekspansi agresif itu?

PADA mulanya Chairul Tanjung hanya seorang dokter gigi lulus an Universitas
Indonesia yang banting setir menjadi pengusaha sepatu. Ia bukan saudagar kesohor, bukan pula anak konglomerat ternama.

Namanya baru mencuat tatkala ia memiliki Bank Mega pada 1996. Ketika konglomerat bertumbang an dihantam krisis pada 1998, garis tangan Chairul
berubah. Bisnis anak Jakarta ini justru menjulang. Sekarang pria 45 tahun itu menjadi buah bibir di kalangan pengusaha nasional.

Sayap bisnisnya berkembang cepat. Ia bukan lagi cuma memiliki Bank Mega, Bandung
Super Mall, serta Trans TV dan Trans-7, melainkan sudah lebih luas. Ia merambah bisnis jasa keuangan, media dan gaya hidup, properti, perkebunan, energi, serta pertambangan. Chairul sangat agresif dan giat mencari peluang baru, menurut Ishadi, bekas orang pemerintah yang kini Direktur Utama Trans TV.

trans-tv.jpg

Belum lama ini, Chairul ”menjelma” menjadi distributor produk-produk retail
bergengsi di Indonesia. Chairul telah mengakuisisi PT Mahagaya Perdana, distributor merek terkenal seperti Mango, Prada, Escada, Gucci, Hugo Boss, Alfred Dunhill, dan Ettiene Aig ner. Ia akan menantang Mitra Adi Perkasa yang selama ini menjadi penguasa bisnis itu.
gucci.jpg
Ia juga masuk ke bisnis makanan-minuman dengan membeli lisensi kafe ternama
Coffee Bean dan es krim berkelas Baskin-Robbins. ”Dalam setahun banyak sekali perusahaan diakuisisi,” kata seorang karyawan divisi jasa ke uangan grup itu yang mengaku heran dengan pesatnya bisnis bosnya.

Sekarang grup ini sedang menggodok rencana baru prestisius: melebarkan sayap dan
menjadi pemain kunci di kawasan Asia. Pada tahap awal, nama induk usaha Grup Para akan diubah jadi Chairul Tanjung Corporation (CT Corp.) agar lebih mudah dikenal. Tahun depan nama baru itu kabarnya diluncurkan.

Bersamaan dengan perubahan nama, beberapa proyek raksasa dimatangkan jajaran
petinggi kelompok bisnis ini. Di antaranya membangun maskapai pener bangan, perkebunan seluas 500 ribu hektare, energi listrik, pertambangan, serta pusat hiburan terbesar di Indonesia timur.

Untuk bisnis penerbangan, menurut Chaeral Tanjung, salah satu petinggi di
kelompok bisnis ini, pihaknya sedang mempersiapkan keuangan, operasionalisasi, sumber daya manusia, dan keamanannya.

”Pokoknya, kami tak akan tampil seperti maskapai sekarang,” kata adik Chairul
tersebut. Maksudnya, ia tak mau hadir sebagai maskapai yang banyak masalah seperti banyak maskapai sekarang ini.

Dengan bendera Trans-Air, mereka membidik segmen khusus, yakni kelas eksekutif.
Tarifnya dipatok dua kali lipat lebih mahal dari harga tiket Garuda Indonesia. Misalnya, tiket Garuda Rp 1 juta, maka Trans-Air akan mematok harga Rp 2 juta. ”Itu sesuai dengan layanan berkelas Concorde yang akan ditawarkan,” kata sumber di Grup Para. ”Slogannya, kalau terbang tidak naik Trans-Air, tidak keren gitu deh.”

Di Makassar, Chairul sedang membangun proyek hiburan terpadu. Kawasan wisata
bernama Trans Studio Resort Makassar senilai Rp 1 triliun dibangun di lahan seluas 12,7 hektare. Di proyek ini, ia bekerja sama dengan Grup Kalla. Mereka akan menampilkan berbagai atraksi permainan ala Disneyland.

disneyland.jpg

Bukan cuma di Makassar, Chairul mulai menjamah kawasan lain di Sulawesi hingga
Kalimantan. Di sana ia mengejar mimpi besar menjadi pemain baru perkebunan—seperti Sinar Mas atau Raja Garuda Mas. Targetnya menguasai 500 ribu hektare dengan investasi tri liunan rupiah. Ia pernah berasumsi, untuk lahan seluas 200 ribu hektare saja, diperlukan dana Rp 5 triliun.

Di belahan bumi Sumatera dan Jawa Barat, bekerja sama dengan PT Pertami na, dua
tahun lalu ia berniat membangun tiga pembangkit listrik tenaga panas bumi senilai US$ 1,5 miliar. Sayangnya, sampai sejauh ini kontrak kerja sama itu belum jelas tindak lanjutnya. ”Itu tak batal, tapi masih dijajaki,” kata Ishadi.

Siapa mesin uang di balik investasi raksasa Chairul? Banyak mata melirik pada
kedekatannya dengan Anthoni Salim, pemilik Grup Salim yang kesohor itu. Apalagi Chairul memang bekerja sama dengan Grup Salim di sejumlah bisnis, misalnya di perusahaan investasi Singapura, Asia Medic, yang mereka akuisisi tahun lalu.

Chairul memang kelihatan bersama Anthoni Salim ketika bertemu dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan visi Indonesia 2030, Maret lalu. Adakah dana Anthoni yang dikelola Chairul selama ini?

Ketika soal sumber dana ekspansi ini dikonfirmasikan kepada Chairul, ia tegas
membantahnya. Ia menampik keras sebutan operator Grup Salim. ”Saya bisa berhasil karena kerja keras,” kata Chairul dalam sebuah wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu.

Namun seorang eksekutif Grup Para menyebutkan bahwa Salim sesungguhnya memiliki
belasan persen saham Bank Mega. Itu terjadi saat bank ini menawarkan saham perdana tujuh tahun lalu. Tapi peran Salim dalam pengembangan Para ditolak mentah-mentah oleh Ishadi dan Direktur Utama Bank Mega Yungki Setiawan. Menurut mereka, Chairul mudah mendapatkan dana karena bisnisnya berkembang baik.

Ada saja institusi keuangan dunia yang menawarkan dana kepada Grup Para, seperti
Citigroup dan JP Morgan. ”Chairul dikenal sebagai golden boy atau anak emas,” kata Ishadi. ”Di Singapura saja ia gampang cari dana murah.”

Siapa pun penyokong dana grup ini, yang jelas bisnisnya sudah menggurita. Saking
banyaknya aset, menurut Ishadi, Grup Para perlu mengkonsolidasi diri dalam tiga fokus bisnis. Pertama, jasa keuangan, dinaungi oleh Mega Global Finance. Itu mencakup Bank Mega, Bank Syariah Mega, Mega Capital, Mega Insu rance, Mega Life, dan Para Financing.

Kedua, bidang media, gaya hidup, dan hiburan, yang dipayungi Trans Corpora. Ini
meliputi Trans TV, Trans-7, Trans Lifestyle, Mahagaya, PT Bara Bali, serta properti seperti Bandung Super Mall dan Batam Indah Investindo. Sedangkan ketiga, CT Global Resources, yang membawahkan perkebunan, energi, dan pertambangan.

Ekspansi usaha ini ditujukan untuk menciptakan sinergi positif. Itu sudah
terbukti di Bank Mega, yang sukses mendongkrak pertumbuhan bisnis secara signifikan. Bank ini sepuluh tahun lalu cuma bank kecil beraset ratusan miliar rupiah, tapi sekarang sudah beraset Rp 30 triliun.

Program sinergi juga dijalankan di Bank Mega. Dengan Mega Life dan Mega Capital,
misalnya, ia
menciptakan produk investasi berbiaya murah, tapi menarik karena berasuransi.
Melalui Trans TV,
Bank Mega membombardir pemirsa dengan iklan tabungan berhadiah. Sedangkan dengan
Mahagaya dan
Coffee Bean, mereka memberikan diskon khusus bagi pemilik kartu kredit Bank
Mega.

Bahkan bukan cuma dengan sesama anak usaha mereka bermitra. Dengan grup besar
lain pun Grup Para
menjalin kerja sama. Misalnya dengan Sinar Mas di Mega Life, dengan Gramedia di
Trans-7, atau
dengan Grup Kalla di Trans-Makassar, juga dengan Grup Salim ”Sekarang ini memang
eranya bersinergi
jika tak mau tenggelam,” kata Yungki.

Dengan sinergi itu pula Chairul memasang target tinggi bagi semua anak usaha.
Bank Mega, kata
Yungki, sudah ditargetkan naik peringkat dari posisi ke-12 saat ini menjadi 5
bank teratas
nasional sepuluh tahun lagi. Artinya, dengan memperhitungkan sejarah pertumbuhan
10-20 persen,
total asetnya diperkirakan menyentuh Rp 200 triliun dalam satu dekade mendatang.

Melihat ambisi besarnya, menurut eksekutif Grup Para, Chairul yang juga Ketua
Yayasan Forum
Indonesia ini sangat mungkin mewujudkan mimpinya pada 2030, yaitu CT Corp. masuk
30 perusahaan
Indonesia di daftar 500 perusahaan besar dunia versi majalah Fortune. ”Jika
sudah berniat, ia
bertekad mewujudkannya,” kata eksekutif ini.

Asalkan itu dicapai lewat proses bisnis yang sehat, jauh dari kolusi ala Orde
Baru, pasti banyak
orang ikut bangga.

Heri Susanto

Setelah menguasai bisnis keuangan dan media, Para Group milik Chairul Tanjung
mulai terjun ke
penerbangan, perkebunan, gaya hidup, dan hiburan. Modal siapa di balik ekspansi
agresif itu?

PADA mulanya Chairul Tanjung hanya seorang dokter gigi lulus an Universitas
Indonesia yang banting
setir menjadi pengusaha sepatu. Ia bukan saudagar kesohor, bukan pula anak
konglomerat ternama.
Namanya baru mencuat tatkala ia memiliki Bank Mega pada 1996.

Ketika konglomerat bertumbang an dihantam krisis pada 1998, garis tangan Chairul
berubah. Bisnis
anak Jakarta ini justru menjulang. Sekarang pria 45 tahun itu menjadi buah bibir
di kalangan
pengusaha nasional.

Sayap bisnisnya berkembang cepat. Ia bukan lagi cuma memiliki Bank Mega, Bandung
Super Mall, serta
Trans TV dan Trans-7, melainkan sudah lebih luas. Ia merambah bisnis jasa
keuangan, media dan gaya
hidup, properti, perkebunan, energi, serta pertambangan. Chairul sangat agresif
dan giat mencari
peluang baru, menurut Ishadi, bekas orang pemerintah yang kini Direktur Utama
Trans TV.

Belum lama ini, Chairul ”menjelma” menjadi distributor produk-produk retail
bergengsi di
Indonesia. Chairul telah mengakuisisi PT Mahagaya Perdana, distributor merek
terkenal seperti
Mango, Prada, Escada, Gucci, Hugo Boss, Alfred Dunhill, dan Ettiene Aig ner. Ia
akan menantang
Mitra Adi Perkasa yang selama ini menjadi penguasa bisnis itu.

Ia juga masuk ke bisnis makanan-minuman dengan membeli lisensi kafe ternama
Coffee Bean dan es
krim berkelas Baskin-Robbins. ”Dalam setahun banyak sekali perusahaan
diakuisisi,” kata seorang
karyawan divisi jasa ke uangan grup itu yang mengaku heran dengan pesatnya
bisnis bosnya.

Sekarang grup ini sedang menggodok rencana baru prestisius: melebarkan sayap dan
menjadi pemain
kunci di kawasan Asia. Pada tahap awal, nama induk usaha Grup Para akan diubah
jadi Chairul
Tanjung Corporation (CT Corp.) agar lebih mudah dikenal. Tahun depan nama baru
itu kabarnya
diluncurkan.

Bersamaan dengan perubahan nama, beberapa proyek raksasa dimatangkan jajaran
petinggi kelompok
bisnis ini. Di antaranya membangun maskapai pener bangan, perkebunan seluas 500
ribu hektare,
energi listrik, pertambangan, serta pusat hiburan terbesar di Indonesia timur.

Untuk bisnis penerbangan, menurut Chaeral Tanjung, salah satu petinggi di
kelompok bisnis ini,
pihaknya sedang mempersiapkan keuangan, operasionalisasi, sumber daya manusia,
dan keamanannya.
”Pokoknya, kami tak akan tampil seperti maskapai sekarang,” kata adik Chairul
tersebut. Maksudnya,
ia tak mau hadir sebagai maskapai yang banyak masalah seperti banyak maskapai
sekarang ini.

Dengan bendera Trans-Air, mereka membidik segmen khusus, yakni kelas eksekutif.
Tarifnya dipatok
dua kali lipat lebih mahal dari harga tiket Garuda Indonesia. Misalnya, tiket
Garuda Rp 1 juta,
maka Trans-Air akan mematok harga Rp 2 juta. ”Itu sesuai dengan layanan berkelas
Concorde yang
akan ditawarkan,” kata sumber di Grup Para. ”Slogannya, kalau terbang tidak naik
Trans-Air, tidak
keren gitu deh.”

Di Makassar, Chairul sedang membangun proyek hiburan terpadu. Kawasan wisata
bernama Trans Studio
Resort Makassar senilai Rp 1 triliun dibangun di lahan seluas 12,7 hektare. Di
proyek ini, ia
bekerja sama dengan Grup Kalla. Mereka akan menampilkan berbagai atraksi
permainan ala Disneyland.

Bukan cuma di Makassar, Chairul mulai menjamah kawasan lain di Sulawesi hingga
Kalimantan. Di sana
ia mengejar mimpi besar menjadi pemain baru perkebunan—seperti Sinar Mas atau
Raja Garuda Mas.
Targetnya menguasai 500 ribu hektare dengan investasi tri liunan rupiah. Ia
pernah berasumsi,
untuk lahan seluas 200 ribu hektare saja, diperlukan dana Rp 5 triliun.

Di belahan bumi Sumatera dan Jawa Barat, bekerja sama dengan PT Pertami na, dua
tahun lalu ia
berniat membangun tiga pembangkit listrik tenaga panas bumi senilai US$ 1,5
miliar. Sayangnya,
sampai sejauh ini kontrak kerja sama itu belum jelas tindak lanjutnya. ”Itu tak
batal, tapi masih
dijajaki,” kata Ishadi.

Siapa mesin uang di balik investasi raksasa Chairul? Banyak mata melirik pada
kedekatannya dengan
Anthoni Salim, pemilik Grup Salim yang kesohor itu. Apalagi Chairul memang
bekerja sama dengan
Grup Salim di sejumlah bisnis, misalnya di perusahaan investasi Singapura, Asia
Medic, yang mereka
akuisisi tahun lalu.

Chairul memang kelihatan bersama Anthoni Salim ketika bertemu dengan Presiden
Susilo Bambang
Yudhoyono saat menyampaikan visi Indonesia 2030, Maret lalu. Adakah dana Anthoni
yang dikelola
Chairul selama ini?

Ketika soal sumber dana ekspansi ini dikonfirmasikan kepada Chairul, ia tegas
membantahnya. Ia
menampik keras sebutan operator Grup Salim. ”Saya bisa berhasil karena kerja
keras,” kata Chairul
dalam sebuah wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu.

Namun seorang eksekutif Grup Para menyebutkan bahwa Salim sesungguhnya memiliki
belasan persen
saham Bank Mega. Itu terjadi saat bank ini menawarkan saham perdana tujuh tahun
lalu. Tapi peran
Salim dalam pengembangan Para ditolak mentah-mentah oleh Ishadi dan Direktur
Utama Bank Mega
Yungki Setiawan. Menurut mereka, Chairul mudah mendapatkan dana karena bisnisnya
berkembang baik.
Ada saja institusi keuangan dunia yang menawarkan dana kepada Grup Para, seperti
Citigroup dan JP
Morgan. ”Chairul dikenal sebagai golden boy atau anak emas,” kata Ishadi. ”Di
Singapura saja ia
gampang cari dana murah.”

Siapa pun penyokong dana grup ini, yang jelas bisnisnya sudah menggurita. Saking
banyaknya aset,
menurut Ishadi, Grup Para perlu mengkonsolidasi diri dalam tiga fokus bisnis.
Pertama, jasa
keuangan, dinaungi oleh Mega Global Finance. Itu mencakup Bank Mega, Bank
Syariah Mega, Mega
Capital, Mega Insu rance, Mega Life, dan Para Financing.

Kedua, bidang media, gaya hidup, dan hiburan, yang dipayungi Trans Corpora. Ini
meliputi Trans TV,
Trans-7, Trans Lifestyle, Mahagaya, PT Bara Bali, serta properti seperti Bandung
Super Mall dan
Batam Indah Investindo. Sedangkan ketiga, CT Global Resources, yang membawahkan
perkebunan,
energi, dan pertambangan.

Ekspansi usaha ini ditujukan untuk menciptakan sinergi positif. Itu sudah
terbukti di Bank Mega,
yang sukses mendongkrak pertumbuhan bisnis secara signifikan. Bank ini sepuluh
tahun lalu cuma
bank kecil beraset ratusan miliar rupiah, tapi sekarang sudah beraset Rp 30
triliun.

Program sinergi juga dijalankan di Bank Mega. Dengan Mega Life dan Mega Capital,
misalnya, ia
menciptakan produk investasi berbiaya murah, tapi menarik karena berasuransi.
Melalui Trans TV,
Bank Mega membombardir pemirsa dengan iklan tabungan berhadiah. Sedangkan dengan
Mahagaya dan
Coffee Bean, mereka memberikan diskon khusus bagi pemilik kartu kredit Bank
Mega.

bank-mega.jpg

Bahkan bukan cuma dengan sesama anak usaha mereka bermitra. Dengan grup besar
lain pun Grup Para
menjalin kerja sama. Misalnya dengan Sinar Mas di Mega Life, dengan Gramedia di
Trans-7, atau
dengan Grup Kalla di Trans-Makassar, juga dengan Grup Salim ”Sekarang ini memang
eranya bersinergi
jika tak mau tenggelam,” kata Yungki.

Dengan sinergi itu pula Chairul memasang target tinggi bagi semua anak usaha.
Bank Mega, kata
Yungki, sudah ditargetkan naik peringkat dari posisi ke-12 saat ini menjadi 5
bank teratas
nasional sepuluh tahun lagi. Artinya, dengan memperhitungkan sejarah pertumbuhan
10-20 persen,
total asetnya diperkirakan menyentuh Rp 200 triliun dalam satu dekade mendatang.

Melihat ambisi besarnya, menurut eksekutif Grup Para, Chairul yang juga Ketua
Yayasan Forum
Indonesia ini sangat mungkin mewujudkan mimpinya pada 2030, yaitu CT Corp. masuk
30 perusahaan
Indonesia di daftar 500 perusahaan besar dunia versi majalah Fortune. ”Jika
sudah berniat, ia
bertekad mewujudkannya,” kata eksekutif ini.

Asalkan itu dicapai lewat proses bisnis yang sehat, jauh dari kolusi ala Orde
Baru, pasti banyak
orang ikut bangga.

Heri Susanto

Dunia Dongeng Tanaman Hias

Posted: October 28, 2007 by Eva in Ekonomi Bisnis

Hari ini Kompas Menulis tiga artikel Tentang Anthurium

Aku simpan agar berguna

Dunia Dongeng Tanaman Hias

Ilham Khoiri

Mengikuti perkembangan tanaman hias beberapa tahun belakangan seperti memasuki dunia dongeng. Tren berganti-ganti dan orang-orang berduit tak segan mengeluarkan uang miliaran rupiah demi memburu tanaman primadona. Masyarakat umum pun ikut-ikutan menginvestasikan uang yang pas-pasan demi mimpi meraup untung besar. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Masyarakat di Tanah Air sedang terjangkiti demam tanaman hias. Cobalah berkunjung ke Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sejak memasuki kawasan Jaten, yang berbatasan dengan Kota Solo, kita langsung menghirup aroma anturium, tanaman yang jadi tren tahun 2007 ini. Ratusan kebun tanaman hias memenuhi kiri-kanan jalan raya.

Tiba di kawasan Karangpandan, Tawangmangu, dan Ngargoyoso, kebun bunga makin berjubel di mana-mana. Penduduk membangun kotak-kotak di depan rumah sebagai semacam “etalase” untuk memajang tanaman. Baliho-baliho besar dipasang dengan mengusung jargon: “Selamat datang di Kabupaten Anturium”.

Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih memang mencanangkan kabupaten itu sebagai “Kabupaten Anturium” dan meminta masyarakat di 17 kecamatan untuk menanam berbagai jenis anturium. Kini, ada 1.000 petani, ratusan nursery dan green house yang membiakkan tanaman ini. “Saya mendorong mereka agar fokus pada tanaman hias. Di sini, kalau tidak memiliki anturium, orang tidak merasa jadi orang Karanganyar,” ujarnya.

Tren anturium juga merasuki wilayah lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, dan meluas lagi sampai Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Papua. Pameran, kontes, dan media hobi kerap menampilkan tanaman ini sebagai primadona. Selain jenmanii, jenis lain juga banyak dicari, seperti black beauty, hokeri, gelombang cinta, dan garuda.

gelombang-cinta.jpg

Yang sangat fenomenal, tentulah rekor harga yang gila-gilaan. Awal tahun 2006, indukan anturium jenmanii masih berharga Rp 1.000.000 per pot. Tapi, baru-baru ini, satu pohon anturium jenis jenmanii hasil silangan baru di Kudus, Jawa Tengah, dikabarkan mencapai harga Rp 1,25 miliar. Biji-biji jenmanii yang baru dipanen pun laku Rp 250.000 per buah.

Meski tak seheboh anturium, aglaonema juga sempat booming beberapa tahun lalu. Saat itu, masyarakat juga getol memburu berbagai jenis tanaman dengan daun berbintik-bintik ini, terutama jenis pride sumatera, hot lady, dan widuri. Tren memuncak saat aglaonema harlequin hasil silangan Greg Hambali terjual seharga Rp 660 juta pada lelang terbatas pertengahan tahun 2006.

anthurium-jenmani-jaipong.jpg

Sebelum itu, adenium-lah yang jadi raja tanaman hias. Sejak tahun 2002, masyarakat menguber berbagai jenis adenium dengan bunga berwarna-warni, seperti crimson star, arabicum, dan herry potter. Tahun 2005, tanaman asal Afrika ini pernah mencapai rekor harga sekitar Rp 100 juta.

Begitulah, tren tanaman hias berubah begitu cepat, dengan siklus sekitar dua tahunan. Harga tanaman bisa melonjak tinggi, tetapi juga gampang jatuh. “Fenomena harga yang gila-gilaan hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain, seperti Taiwan, Thailand, Hongkong, dan Amerika, masyarakat membeli tanaman dengan harga wajar,” kata Pemimpin Redaksi Majalah Trubus Onny Untung.

Goreng-gorengan?

Kenapa bisnis tanaman hias diwarnai harga yang gila-gilaan? Menurut Ketua Florikultura Indonesia Iwan Hendrayanta, situasi itu terjadi karena stok tanaman hias tertentu memang yang terbatas, padahal kebutuhan pasar tinggi. Tetapi, itu juga bisa dipengaruhi spekulasi para pemain baru yang terjun dalam bisnis ini.

Biasanya satu jenis tanaman yang potensial dimatangkan dulu di kalangan penyilang atau pemilik tanaman indukan. Sebelum dilempar ke pasar, tanaman itu diperkenalkan dulu dalam pameran, kontes, atau brosur. Tanaman yang memperoleh sambutan bagus lantas dipublikasikan media, seperti Trubus atau Flona.

bibit Anthurium

“Kalau sudah diulas media, biasanya orang-orang langsung penasaran, mencari-cari, dan tumbuhlah pasar. Ketika pasar bertambah dan stok terbatas, otomatis harga terdongkrak,” kata Iwan.

Saat harga naik, bisnis tanaman itu menjanjikan untung besar. Masuklah kalangan berduit atau konglomerat yang ingin untung cepat. Mereka berinvestasi dengan menanamkan modal besar. Dalam kondisi seperti itu, harga tanaman bisa melejit sampai taraf “tak masuk akal”.

Bursa tanaman tambah panas ketika para pemain berlomba mendatangkan jenis-jenis baru dari luar negeri, terutama Thailand, Filipina, dan Taiwan. Apalagi, kemudian bermunculan orang yang ikut-ikutan atau kolektor yang membeli demi gengsi. Hauwlie, pemilik Gracia Nursery di Karanganyar, mengungkapkan, banyak pemain di bisnis ikan, burung, atau pengusaha bus dan rokok yang terjun ke tanaman hias.

“Tidak benar pengusaha Karanganyar sengaja menggoreng-goreng harga anturium. Harga melonjak karena ada sejumlah pengusaha pendatang baru yang berspekulasi menawarkan harga tinggi,” kata Didik Setiawan, pemilik Nursery dan Gardening Deni di Karanganyar.

Menurut Chandra Gunawan Hendarto, pemilik Godongijo Nursery di Sawangan, Depok, orang berduit berani berinvestasi ke tanaman hias karena melihat sektor riil ekonomi masih lesu. Saat bersamaan, bunga deposito di bank yang sekitar 8-9 persen per tahun dinilai terlalu minim, sedangkan permainan saham dianggap kurang menarik karena turun-naik.

“Orang yang punya duit lalu melirik bisnis tanaman hias yang sedang menggairahkan. Jadilah bisnis ini makin ramai saja, banyak orang yang semrintil-ngintil,” kata Chandra, yang memopulerkan adenium sejak tahun 1999.

Pencurian

Ketika jadi komoditas bernilai tinggi, tanaman hias lantas jadi incaran banyak orang, termasuk pencuri. Sejak heboh anturium jenmanii yang mahal, banyak pemilik nursery mengaku kebobolan. Sayangnya, kasus kriminal itu sulit ditangani kepolisian karena belum ada identifikasi khusus untuk tanaman hias.

“Saya sudah pernah empat kali kecurian tanaman anturium. Nilainya bisa ratusan juta rupiah,” kata Jefri, penggemar tanaman hias asal Cipanas, Puncak.

Puncak

Mengantisipasi situasi ini, pemilik tanaman hias mau tak mau harus mengeluarkan biaya tinggi demi menciptakan keamanan berlapis. Jangan heran jika kebun-kebun anturium di Karanganyar dikerangkeng pagar besi, dikawal sejumlah satpam 24 jam, dipasangi alarm, kamera CCTV, sampai dijaga anjing galak.

anthurium-jenmanii-cobra.jpg

“Demi menjaga anturium, bahkan ada orang yang memboyong tanaman itu dalam kamar untuk diajak tidur bersama,” kata Ketua Koperasi Pinasti Karanganyar M Zamzami Ali.

Tidur bersama tanaman? Ah, benar-benar mirip dunia dongeng saja! (sonya hellen sinombor/ frans sartono)

 Artikel-2

Untung dan Buntung Saling Bersambung
Ninuk Mardiana Pambudy

anthurium-crenatum.jpg


“Kami baru kehilangan dua anturium. Satu dicuri dari halaman belakang yang pagarnya tingginya tiga meter, satu lagi di teras yang lebih kecil. Yang satu ‘Anthurium plowmanii’ atau Gelombang Cinta, satunya lagi ‘Anthurium jemanii’ ‘Kol’. Yang dicuri dari kantor juga dua pohon.”
Itulah pengalaman Susilo Hadi Arifin dan istrinya, Nurhayati, pengajar di Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Anturium kesayangan mereka itu dibeli pada tahun 2001 saat belum populer dan ketika dicuri panjang daunnya sudah sekitar 50 sentimeter. Bila dibandingkan dengan anturium yang kerap muncul di pameran, tanaman dengan ukuran tersebut dapat mencapai harga lebih Rp 20 juta.
Anturium yang saat ini berada pada puncak kejayaannya membuat banyak orang tergiur memiliki tanaman ini, meskipun dengan cara mencuri. Susilo juga kecurian ratusan pot aglaonema dari laboratorium tanaman di IPB saat tanaman itu sedang jaya-jayanya dua tahun lalu.
Cerita tentang tanaman hias saat ini seperti dongeng. Harganya bisa semahal satu mobil Mercedes seri S. Kalau dibelikan rumah, bisa dapat lima-enam buah dengan luas tanah 180-an meter di pinggiran Jakarta. Bagaimana bisa menjelaskan satu tanaman hias daun anturium yang harganya Rp 600 juta bahkan Rp 1,2 miliar per buah? Harga ratusan juta rupiah juga pernah diraih adenium.

jutawan.jpg
“Sebetulnya agak berlebihan kalau harganya sampai semahal itu karena tanaman adalah sesuatu yang terbarukan, bisa dibiakkan. Menyilangkan anturium, adenium, atau aglaonema, misalnya, relatif tidak terlalu sulit,” kata Prof Dr Ir Susilo yang Ketua Departemen Arsitektur Lanskap IPB dan penulis buku pertamanan dan tanaman hias.
Ada beberapa faktor yang membuat suatu jenis tanaman menjadi buruan dan harganya sangat tinggi. Kelangkaan adalah faktor terpenting selain tanaman itu dianggap “baru” dan pasti harus menarik dilihat.
“Umumnya yang memiliki tanaman dengan sifat tersebut adalah komunitas kolektor tanaman. Kadang mereka melelang di antara mereka sendiri,” kata Dr Ir Nurhayati, salah seorang penyusun standar kompetensi kerja nasional untuk tanaman hias krisan dan aglaonema.
Selain komunitas, Himma Zakia dari Salsabiila Nursery di Cipanas, Jawa Barat, dan Susilo berpendapat, media massa juga ikut mengipasi konsumen dengan info apa yang sedang populer saat ini.
Peran komunitas pencinta tanaman ini cukup penting karena mereka selalu mencari tanaman baru. Untuk itu, mereka menyilang sendiri, bertukar di antara mereka, atau ke petani karena tanaman yang unik dapat muncul dari mana saja ketika terjadi mutasi.
Di sisi lain, ada pemulia (breeder) yang bekerja sama dengan pembibit (nursery) untuk menghasilkan tanaman-tanaman jenis baru. “Jadi, ada yang klop antara penawaran dan permintaan,” kata Susilo.
Untung dan buntung
Untung dan buntung bisa sambung-menyambung dalam bisnis tanaman hias. Mereka yang buntung, selain karena tanamannya dicuri, juga karena latah ikut-ikutan bisnis ini sementara tidak paham berapa lama tanaman itu tetap populer.
“Waktu palem raja untuk lanskap sedang di puncak, permintaannya tinggi sementara pasokan terbatas. Akhirnya para desainer lanskap pindah ke palem ekor tupai dan palem putri. Harga palem raja jatuh. Banyak petani yang telanjur tanam palem raja akhirnya rugi,” papar Ir Lita Herlinawati, yang bekerja di perusahaan lanskap di Kabupaten Bogor.
Himma Zakia, yang memproduksi tanaman hias pot, tanaman lanskap, dan tanaman hias daun, mengaku ikut kecipratan rezeki dari populernya anturium. Dia mendatangkan sebagian tanaman hias daun-termasuk anturium-dari Thailand. Di sana anturium tidak terlalu menjadi perhatian. Perusahaan pembibitan umumnya melayani permintaan dari Indonesia.
“Di pasar Chatuchak, Bangkok, isinya orang Indonesia. Ada yang dari Medan, Solo, sampai Jawa Timur. Mereka rebutan anturium, sampai ada yang bela-belain nginep di kebun supaya enggak keduluan yang lain,” kata Himma.
Begitu menggiurkannya rupiah yang dapat dipanen dari tanaman hias sampai-sampai ada yang menjual rumah dan mobil, bahkan utang dari bank, untuk ikut menangguk rezeki “sesaat”. Menurut Himma, tidak selalu mereka yang kini berbisnis anturium punya kebun bahkan tanaman. Para penggembira ini cukup bermodal jaringan pasar. Mereka akan menghubungkan penjual dan pembeli dengan mengambil keuntungan di antara keduanya.
“Popularitas anturium sudah berlangsung tiga tahun, mudah-mudahan masih bertahan lama karena pembiakannya tidak bisa dengan setek. Yang bagus dengan biji, itu pun harus yang matang; atau kultur jaringan yang cukup rumit mencari media tumbuhnya. Kalau anturium segera surut, jangan-jangan banyak yang ‘miring’ karena telanjur investasi besar-besaran,” kata Himma.

kaya-dari-tanaman.jpg

Semakin semaraknya bisnis tanaman hias, menurut Nurhayati, bagus-bagus saja karena menambah keragaman tanaman hias di sini. Lagi pula, tiap tanaman memiliki penggemar fanatik yang tidak akan begitu saja mengalihkan cintanya ke tanaman lain sehingga petani tetap akan mempunyai pasar.
Membuat meledak
Pemulia tanaman ikut berperan sebab bila hasil tangkaran mereka sukses di pasar sudah pasti bukan hanya nama, tetapi keuntungan ekonomi pun menjadi imbalan. Tak mengherankan bila kebun bibit bermodal kuat bersedia membiayai pemulia mereka melakukan eksplorasi ke hutan mencari tanaman yang berpotensi ekonomi untuk kemudian disilangkan dengan jenis yang sudah dikenal sebelumnya.
“Pasti tanamannya mesti menarik dan unik. Biasanya dari jenis yang memiliki banyak varian, seperti pada aglaonema, adenium, atau euforbia yang katanya membawa rezeki hingga harganya stabil meski tidak spektakuler,” kata Susilo.

anth-hookeri-oval.jpg
Uniknya, tanaman yang menjadi buruan itu dari jenis yang sudah lama dikenal. Anturium sudah menjadi tanaman hias sejak lebih 40 tahun lalu, adenium atau ada juga yang menyebut sebagai kamboja jepang, euforbia, dan aglaonema juga bukan tanaman baru. Tanaman-tanaman ini dijadikan baru melalui persilangan.
Lalu, bagaimana menciptakan tanaman yang akan menjadi populer?
Yang jelas, hal itu belum dapat dilakukan petani tanaman hias. “Mereka bisa membudidayakan, tetapi tidak cukup pengetahuan dan jaringan pasarnya,” kata Susilo.
Jadi, penentu memang kebun bibit berskala besar, komunitas kolektor tanaman, dan media massa. Adapun petani dan kebun bibit berskala kecil mengekor.
Dan, kabar-kabar pun berembus mengantisipasi perkembangan berikut. “Katanya yang berikut adalah bromelia (nanas-nanasan), tetapi kok belum juga muncul. Maunya sih anturium bertahan lebih lama karena memberi rezeki petani dan pencinta tanaman hias,” kata Himma.

Artikel-3

Dari Masa ke Masa
Setelah Anturium, Apa Lagi?

Masyarakat Indonesia punya selera yang unik menyangkut soal tanaman hias. Mula-mula, banyak orang menggandrungi tanaman yang memiliki bunga indah, lalu bergeser pada pepohonan pelindung untuk taman. Belakangan, masyarakat menyukai bunga dalam pot yang bisa dipelihara dalam rumah. Adalah bunga nusa indah yang dikenal menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia tahun 1970-an. Saat itu, hampir tidak ada halaman rumah, kantor, hotel, dan toko di kota-kota yang tidak memajang tanaman yang kerap disebut cangkok emas atau daun putri itu. Bunganya yang merah cerah atau putih bersih dianggap melambangkan kesejahteraan pemiliknya. Memasuki tahun 1980-an, selera masyarakat beralih pada bunga bugenvil atau kembang kertas. Meski sempat tersebar mitos tanaman ini beraura panas sehingga menyulitkan kehidupan keluarga yang memeliharanya, bugenvil tetap memikat banyak kalangan. Tanaman dengan bunga warna-warni ini banyak ditanam di pinggir jalan atau pekarangan rumah.

bugenvile.jpgSaat program pembangunan gencar dilakukan di Indonesia pada era tahun 1990-an, berkembang jenis tanaman hias untuk lanskap atau taman terbuka, terutama jenis palem-paleman. Palem yang terkenal adalah palem botol, palem raja, dan ekor tupai. Saat itu, jenis tanaman ini berharga mahal. “Harga palem ekor tupai dewasa bisa mencapai Rp 7 juta. Harga tersebut sudah sangat tinggi zaman itu. Buah palem juga laris di pasaran yang dibeli orang untuk ditanam sendiri,” kata Matius Alberto Mujadi (38), landscaper asal Depok, Jawa Barat. Tak hanya palem, tahun 1990-an juga diwarnai tren tanaman peneduh, seperti kamboja dan cemara udang dengan bentuk semi bonsai. Saat tren, banyak orang yang berburu bonggol cemara udang langsung dari hutan. Banyak pedagang melirik bisnis tanaman cantik ini.

Adenium Bunga

Tahun 2000-an, tren tanaman hias makin cepat berganti. Berawal dari adenium, aglaonema, lantas belakangan terjadi demam anturium. Di sela-sela tiga tren besar itu, masih sempat muncul lagi beberapa tanaman lain, seperti euforbia, philodendron, pachypodium, dan sansiviera. Masing-masing tanaman memiliki keunggulan sendiri-sendiri.

Aglonema

Meskipun demam anturium masih terus berlangsung, kini orang sudah bertanya-tanya, tanaman apa lagi yang bakal naik daun? Diam-diam, sebagian orang sekarang mulai memborong senthe atau kajar-kajar, tanaman talas besar yang banyak tumbuh di pekarangan rumah di Jawa. Diperkirakan, tanaman besar ini bakal makin digemari. Tapi, sebenarnya semuanya masih gelap. Para kolektor, pengusaha, pedagang, dan petani tanaman hanya bisa menduga, tanaman yang bakal jadi tren tentulah yang punya sifat-sifat mirip anturium, adenium, dan aglaonema. Tanaman itu mesti menarik sehingga potensial untuk digandrungi banyak orang. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, stoknya harus cukup.

Anthurium Colonicum

“Tanaman bisa jadi tren kalau gampang dipelihara dan mudah diperbanyak, tetapi biar orang tidak cepat bosan, perbanyakan itu hendaknya menghasilkan variasi baru yang segar, seperti terjadi pada adenium dan anturium,” kata Handry Chuhaery (40), pemilik Han Garden di Serpong, Tangerang. (iam)