TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007
Ekonomi dan Bisnis
TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007
Ekonomi dan Bisnis
Sayap Baru Si Golden Boy
Setelah menguasai bisnis keuangan dan media, Para Group milik Chairul Tanjung
mulai terjun ke penerbangan, perkebunan, gaya hidup, dan hiburan. Modal siapa di balik ekspansi agresif itu?
PADA mulanya Chairul Tanjung hanya seorang dokter gigi lulus an Universitas
Indonesia yang banting setir menjadi pengusaha sepatu. Ia bukan saudagar kesohor, bukan pula anak konglomerat ternama.
Namanya baru mencuat tatkala ia memiliki Bank Mega pada 1996. Ketika konglomerat bertumbang an dihantam krisis pada 1998, garis tangan Chairul
berubah. Bisnis anak Jakarta ini justru menjulang. Sekarang pria 45 tahun itu menjadi buah bibir di kalangan pengusaha nasional.
Sayap bisnisnya berkembang cepat. Ia bukan lagi cuma memiliki Bank Mega, Bandung
Super Mall, serta Trans TV dan Trans-7, melainkan sudah lebih luas. Ia merambah bisnis jasa keuangan, media dan gaya hidup, properti, perkebunan, energi, serta pertambangan. Chairul sangat agresif dan giat mencari peluang baru, menurut Ishadi, bekas orang pemerintah yang kini Direktur Utama Trans TV.
Belum lama ini, Chairul ”menjelma” menjadi distributor produk-produk retail
bergengsi di Indonesia. Chairul telah mengakuisisi PT Mahagaya Perdana, distributor merek terkenal seperti Mango, Prada, Escada, Gucci, Hugo Boss, Alfred Dunhill, dan Ettiene Aig ner. Ia akan menantang Mitra Adi Perkasa yang selama ini menjadi penguasa bisnis itu.
Ia juga masuk ke bisnis makanan-minuman dengan membeli lisensi kafe ternama
Coffee Bean dan es krim berkelas Baskin-Robbins. ”Dalam setahun banyak sekali perusahaan diakuisisi,” kata seorang karyawan divisi jasa ke uangan grup itu yang mengaku heran dengan pesatnya bisnis bosnya.
Sekarang grup ini sedang menggodok rencana baru prestisius: melebarkan sayap dan
menjadi pemain kunci di kawasan Asia. Pada tahap awal, nama induk usaha Grup Para akan diubah jadi Chairul Tanjung Corporation (CT Corp.) agar lebih mudah dikenal. Tahun depan nama baru itu kabarnya diluncurkan.
Bersamaan dengan perubahan nama, beberapa proyek raksasa dimatangkan jajaran
petinggi kelompok bisnis ini. Di antaranya membangun maskapai pener bangan, perkebunan seluas 500 ribu hektare, energi listrik, pertambangan, serta pusat hiburan terbesar di Indonesia timur.
Untuk bisnis penerbangan, menurut Chaeral Tanjung, salah satu petinggi di
kelompok bisnis ini, pihaknya sedang mempersiapkan keuangan, operasionalisasi, sumber daya manusia, dan keamanannya.
”Pokoknya, kami tak akan tampil seperti maskapai sekarang,” kata adik Chairul
tersebut. Maksudnya, ia tak mau hadir sebagai maskapai yang banyak masalah seperti banyak maskapai sekarang ini.
Dengan bendera Trans-Air, mereka membidik segmen khusus, yakni kelas eksekutif.
Tarifnya dipatok dua kali lipat lebih mahal dari harga tiket Garuda Indonesia. Misalnya, tiket Garuda Rp 1 juta, maka Trans-Air akan mematok harga Rp 2 juta. ”Itu sesuai dengan layanan berkelas Concorde yang akan ditawarkan,” kata sumber di Grup Para. ”Slogannya, kalau terbang tidak naik Trans-Air, tidak keren gitu deh.”
Di Makassar, Chairul sedang membangun proyek hiburan terpadu. Kawasan wisata
bernama Trans Studio Resort Makassar senilai Rp 1 triliun dibangun di lahan seluas 12,7 hektare. Di proyek ini, ia bekerja sama dengan Grup Kalla. Mereka akan menampilkan berbagai atraksi permainan ala Disneyland.
Bukan cuma di Makassar, Chairul mulai menjamah kawasan lain di Sulawesi hingga
Kalimantan. Di sana ia mengejar mimpi besar menjadi pemain baru perkebunan—seperti Sinar Mas atau Raja Garuda Mas. Targetnya menguasai 500 ribu hektare dengan investasi tri liunan rupiah. Ia pernah berasumsi, untuk lahan seluas 200 ribu hektare saja, diperlukan dana Rp 5 triliun.
Di belahan bumi Sumatera dan Jawa Barat, bekerja sama dengan PT Pertami na, dua
tahun lalu ia berniat membangun tiga pembangkit listrik tenaga panas bumi senilai US$ 1,5 miliar. Sayangnya, sampai sejauh ini kontrak kerja sama itu belum jelas tindak lanjutnya. ”Itu tak batal, tapi masih dijajaki,” kata Ishadi.
Siapa mesin uang di balik investasi raksasa Chairul? Banyak mata melirik pada
kedekatannya dengan Anthoni Salim, pemilik Grup Salim yang kesohor itu. Apalagi Chairul memang bekerja sama dengan Grup Salim di sejumlah bisnis, misalnya di perusahaan investasi Singapura, Asia Medic, yang mereka akuisisi tahun lalu.
Chairul memang kelihatan bersama Anthoni Salim ketika bertemu dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan visi Indonesia 2030, Maret lalu. Adakah dana Anthoni yang dikelola Chairul selama ini?
Ketika soal sumber dana ekspansi ini dikonfirmasikan kepada Chairul, ia tegas
membantahnya. Ia menampik keras sebutan operator Grup Salim. ”Saya bisa berhasil karena kerja keras,” kata Chairul dalam sebuah wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu.
Namun seorang eksekutif Grup Para menyebutkan bahwa Salim sesungguhnya memiliki
belasan persen saham Bank Mega. Itu terjadi saat bank ini menawarkan saham perdana tujuh tahun lalu. Tapi peran Salim dalam pengembangan Para ditolak mentah-mentah oleh Ishadi dan Direktur Utama Bank Mega Yungki Setiawan. Menurut mereka, Chairul mudah mendapatkan dana karena bisnisnya berkembang baik.
Ada saja institusi keuangan dunia yang menawarkan dana kepada Grup Para, seperti
Citigroup dan JP Morgan. ”Chairul dikenal sebagai golden boy atau anak emas,” kata Ishadi. ”Di Singapura saja ia gampang cari dana murah.”
Siapa pun penyokong dana grup ini, yang jelas bisnisnya sudah menggurita. Saking
banyaknya aset, menurut Ishadi, Grup Para perlu mengkonsolidasi diri dalam tiga fokus bisnis. Pertama, jasa keuangan, dinaungi oleh Mega Global Finance. Itu mencakup Bank Mega, Bank Syariah Mega, Mega Capital, Mega Insu rance, Mega Life, dan Para Financing.
Kedua, bidang media, gaya hidup, dan hiburan, yang dipayungi Trans Corpora. Ini
meliputi Trans TV, Trans-7, Trans Lifestyle, Mahagaya, PT Bara Bali, serta properti seperti Bandung Super Mall dan Batam Indah Investindo. Sedangkan ketiga, CT Global Resources, yang membawahkan perkebunan, energi, dan pertambangan.
Ekspansi usaha ini ditujukan untuk menciptakan sinergi positif. Itu sudah
terbukti di Bank Mega, yang sukses mendongkrak pertumbuhan bisnis secara signifikan. Bank ini sepuluh tahun lalu cuma bank kecil beraset ratusan miliar rupiah, tapi sekarang sudah beraset Rp 30 triliun.
Program sinergi juga dijalankan di Bank Mega. Dengan Mega Life dan Mega Capital,
misalnya, ia
menciptakan produk investasi berbiaya murah, tapi menarik karena berasuransi.
Melalui Trans TV,
Bank Mega membombardir pemirsa dengan iklan tabungan berhadiah. Sedangkan dengan
Mahagaya dan
Coffee Bean, mereka memberikan diskon khusus bagi pemilik kartu kredit Bank
Mega.
Bahkan bukan cuma dengan sesama anak usaha mereka bermitra. Dengan grup besar
lain pun Grup Para
menjalin kerja sama. Misalnya dengan Sinar Mas di Mega Life, dengan Gramedia di
Trans-7, atau
dengan Grup Kalla di Trans-Makassar, juga dengan Grup Salim ”Sekarang ini memang
eranya bersinergi
jika tak mau tenggelam,” kata Yungki.
Dengan sinergi itu pula Chairul memasang target tinggi bagi semua anak usaha.
Bank Mega, kata
Yungki, sudah ditargetkan naik peringkat dari posisi ke-12 saat ini menjadi 5
bank teratas
nasional sepuluh tahun lagi. Artinya, dengan memperhitungkan sejarah pertumbuhan
10-20 persen,
total asetnya diperkirakan menyentuh Rp 200 triliun dalam satu dekade mendatang.
Melihat ambisi besarnya, menurut eksekutif Grup Para, Chairul yang juga Ketua
Yayasan Forum
Indonesia ini sangat mungkin mewujudkan mimpinya pada 2030, yaitu CT Corp. masuk
30 perusahaan
Indonesia di daftar 500 perusahaan besar dunia versi majalah Fortune. ”Jika
sudah berniat, ia
bertekad mewujudkannya,” kata eksekutif ini.
Asalkan itu dicapai lewat proses bisnis yang sehat, jauh dari kolusi ala Orde
Baru, pasti banyak
orang ikut bangga.
Heri Susanto
Setelah menguasai bisnis keuangan dan media, Para Group milik Chairul Tanjung
mulai terjun ke
penerbangan, perkebunan, gaya hidup, dan hiburan. Modal siapa di balik ekspansi
agresif itu?
PADA mulanya Chairul Tanjung hanya seorang dokter gigi lulus an Universitas
Indonesia yang banting
setir menjadi pengusaha sepatu. Ia bukan saudagar kesohor, bukan pula anak
konglomerat ternama.
Namanya baru mencuat tatkala ia memiliki Bank Mega pada 1996.
Ketika konglomerat bertumbang an dihantam krisis pada 1998, garis tangan Chairul
berubah. Bisnis
anak Jakarta ini justru menjulang. Sekarang pria 45 tahun itu menjadi buah bibir
di kalangan
pengusaha nasional.
Sayap bisnisnya berkembang cepat. Ia bukan lagi cuma memiliki Bank Mega, Bandung
Super Mall, serta
Trans TV dan Trans-7, melainkan sudah lebih luas. Ia merambah bisnis jasa
keuangan, media dan gaya
hidup, properti, perkebunan, energi, serta pertambangan. Chairul sangat agresif
dan giat mencari
peluang baru, menurut Ishadi, bekas orang pemerintah yang kini Direktur Utama
Trans TV.
Belum lama ini, Chairul ”menjelma” menjadi distributor produk-produk retail
bergengsi di
Indonesia. Chairul telah mengakuisisi PT Mahagaya Perdana, distributor merek
terkenal seperti
Mango, Prada, Escada, Gucci, Hugo Boss, Alfred Dunhill, dan Ettiene Aig ner. Ia
akan menantang
Mitra Adi Perkasa yang selama ini menjadi penguasa bisnis itu.
Ia juga masuk ke bisnis makanan-minuman dengan membeli lisensi kafe ternama
Coffee Bean dan es
krim berkelas Baskin-Robbins. ”Dalam setahun banyak sekali perusahaan
diakuisisi,” kata seorang
karyawan divisi jasa ke uangan grup itu yang mengaku heran dengan pesatnya
bisnis bosnya.
Sekarang grup ini sedang menggodok rencana baru prestisius: melebarkan sayap dan
menjadi pemain
kunci di kawasan Asia. Pada tahap awal, nama induk usaha Grup Para akan diubah
jadi Chairul
Tanjung Corporation (CT Corp.) agar lebih mudah dikenal. Tahun depan nama baru
itu kabarnya
diluncurkan.
Bersamaan dengan perubahan nama, beberapa proyek raksasa dimatangkan jajaran
petinggi kelompok
bisnis ini. Di antaranya membangun maskapai pener bangan, perkebunan seluas 500
ribu hektare,
energi listrik, pertambangan, serta pusat hiburan terbesar di Indonesia timur.
Untuk bisnis penerbangan, menurut Chaeral Tanjung, salah satu petinggi di
kelompok bisnis ini,
pihaknya sedang mempersiapkan keuangan, operasionalisasi, sumber daya manusia,
dan keamanannya.
”Pokoknya, kami tak akan tampil seperti maskapai sekarang,” kata adik Chairul
tersebut. Maksudnya,
ia tak mau hadir sebagai maskapai yang banyak masalah seperti banyak maskapai
sekarang ini.
Dengan bendera Trans-Air, mereka membidik segmen khusus, yakni kelas eksekutif.
Tarifnya dipatok
dua kali lipat lebih mahal dari harga tiket Garuda Indonesia. Misalnya, tiket
Garuda Rp 1 juta,
maka Trans-Air akan mematok harga Rp 2 juta. ”Itu sesuai dengan layanan berkelas
Concorde yang
akan ditawarkan,” kata sumber di Grup Para. ”Slogannya, kalau terbang tidak naik
Trans-Air, tidak
keren gitu deh.”
Di Makassar, Chairul sedang membangun proyek hiburan terpadu. Kawasan wisata
bernama Trans Studio
Resort Makassar senilai Rp 1 triliun dibangun di lahan seluas 12,7 hektare. Di
proyek ini, ia
bekerja sama dengan Grup Kalla. Mereka akan menampilkan berbagai atraksi
permainan ala Disneyland.
Bukan cuma di Makassar, Chairul mulai menjamah kawasan lain di Sulawesi hingga
Kalimantan. Di sana
ia mengejar mimpi besar menjadi pemain baru perkebunan—seperti Sinar Mas atau
Raja Garuda Mas.
Targetnya menguasai 500 ribu hektare dengan investasi tri liunan rupiah. Ia
pernah berasumsi,
untuk lahan seluas 200 ribu hektare saja, diperlukan dana Rp 5 triliun.
Di belahan bumi Sumatera dan Jawa Barat, bekerja sama dengan PT Pertami na, dua
tahun lalu ia
berniat membangun tiga pembangkit listrik tenaga panas bumi senilai US$ 1,5
miliar. Sayangnya,
sampai sejauh ini kontrak kerja sama itu belum jelas tindak lanjutnya. ”Itu tak
batal, tapi masih
dijajaki,” kata Ishadi.
Siapa mesin uang di balik investasi raksasa Chairul? Banyak mata melirik pada
kedekatannya dengan
Anthoni Salim, pemilik Grup Salim yang kesohor itu. Apalagi Chairul memang
bekerja sama dengan
Grup Salim di sejumlah bisnis, misalnya di perusahaan investasi Singapura, Asia
Medic, yang mereka
akuisisi tahun lalu.
Chairul memang kelihatan bersama Anthoni Salim ketika bertemu dengan Presiden
Susilo Bambang
Yudhoyono saat menyampaikan visi Indonesia 2030, Maret lalu. Adakah dana Anthoni
yang dikelola
Chairul selama ini?
Ketika soal sumber dana ekspansi ini dikonfirmasikan kepada Chairul, ia tegas
membantahnya. Ia
menampik keras sebutan operator Grup Salim. ”Saya bisa berhasil karena kerja
keras,” kata Chairul
dalam sebuah wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu.
Namun seorang eksekutif Grup Para menyebutkan bahwa Salim sesungguhnya memiliki
belasan persen
saham Bank Mega. Itu terjadi saat bank ini menawarkan saham perdana tujuh tahun
lalu. Tapi peran
Salim dalam pengembangan Para ditolak mentah-mentah oleh Ishadi dan Direktur
Utama Bank Mega
Yungki Setiawan. Menurut mereka, Chairul mudah mendapatkan dana karena bisnisnya
berkembang baik.
Ada saja institusi keuangan dunia yang menawarkan dana kepada Grup Para, seperti
Citigroup dan JP
Morgan. ”Chairul dikenal sebagai golden boy atau anak emas,” kata Ishadi. ”Di
Singapura saja ia
gampang cari dana murah.”
Siapa pun penyokong dana grup ini, yang jelas bisnisnya sudah menggurita. Saking
banyaknya aset,
menurut Ishadi, Grup Para perlu mengkonsolidasi diri dalam tiga fokus bisnis.
Pertama, jasa
keuangan, dinaungi oleh Mega Global Finance. Itu mencakup Bank Mega, Bank
Syariah Mega, Mega
Capital, Mega Insu rance, Mega Life, dan Para Financing.
Kedua, bidang media, gaya hidup, dan hiburan, yang dipayungi Trans Corpora. Ini
meliputi Trans TV,
Trans-7, Trans Lifestyle, Mahagaya, PT Bara Bali, serta properti seperti Bandung
Super Mall dan
Batam Indah Investindo. Sedangkan ketiga, CT Global Resources, yang membawahkan
perkebunan,
energi, dan pertambangan.
Ekspansi usaha ini ditujukan untuk menciptakan sinergi positif. Itu sudah
terbukti di Bank Mega,
yang sukses mendongkrak pertumbuhan bisnis secara signifikan. Bank ini sepuluh
tahun lalu cuma
bank kecil beraset ratusan miliar rupiah, tapi sekarang sudah beraset Rp 30
triliun.
Program sinergi juga dijalankan di Bank Mega. Dengan Mega Life dan Mega Capital,
misalnya, ia
menciptakan produk investasi berbiaya murah, tapi menarik karena berasuransi.
Melalui Trans TV,
Bank Mega membombardir pemirsa dengan iklan tabungan berhadiah. Sedangkan dengan
Mahagaya dan
Coffee Bean, mereka memberikan diskon khusus bagi pemilik kartu kredit Bank
Mega.
Bahkan bukan cuma dengan sesama anak usaha mereka bermitra. Dengan grup besar
lain pun Grup Para
menjalin kerja sama. Misalnya dengan Sinar Mas di Mega Life, dengan Gramedia di
Trans-7, atau
dengan Grup Kalla di Trans-Makassar, juga dengan Grup Salim ”Sekarang ini memang
eranya bersinergi
jika tak mau tenggelam,” kata Yungki.
Dengan sinergi itu pula Chairul memasang target tinggi bagi semua anak usaha.
Bank Mega, kata
Yungki, sudah ditargetkan naik peringkat dari posisi ke-12 saat ini menjadi 5
bank teratas
nasional sepuluh tahun lagi. Artinya, dengan memperhitungkan sejarah pertumbuhan
10-20 persen,
total asetnya diperkirakan menyentuh Rp 200 triliun dalam satu dekade mendatang.
Melihat ambisi besarnya, menurut eksekutif Grup Para, Chairul yang juga Ketua
Yayasan Forum
Indonesia ini sangat mungkin mewujudkan mimpinya pada 2030, yaitu CT Corp. masuk
30 perusahaan
Indonesia di daftar 500 perusahaan besar dunia versi majalah Fortune. ”Jika
sudah berniat, ia
bertekad mewujudkannya,” kata eksekutif ini.
Asalkan itu dicapai lewat proses bisnis yang sehat, jauh dari kolusi ala Orde
Baru, pasti banyak
orang ikut bangga.
Heri Susanto