Sosok Pemalu, Pejuang Ahimsa

Posted: February 27, 2018 by Eva in Buku dan Media
Tags:

Resensi Buku
Judul : Mahatma Gandhi (Sebuah Autobiografi)
Kisah tentang Eksperimen- eksperimen Saya Terhadap Kebenaran
Penulis : M.K.Gandhi
Judul asli: An Autobiography or The True Story of  My Experiment with Truth
Alih Bahasa : Andi Tenry W
Penyunting : Lilih Prilian Ari Pranowo
Penerbit : Narasi, Jogjakarta
Edisi : I, 2009

“Dunia menghancurkan debu di bawah kakinya, namun pencari kebenaran haruslah merendahkan diri sehingga debu saja akan bisa menghancurkannya.”- Mohandas Karamchand Gandhi, Ashram Sabarmati, 26 November 1925.

Buku bersampul kuning gading ini diawali dengan kata pengantar yang penuh perasaan tentang awal kisah penulis, Mohandas Karamchand Gandhi, seorang advokat dan tokoh pemimpin terkemuka dari India. Gandhi, menyanggupi menulis autobiografi atas permintaan rekan kerjanya. Saat awal menulis, kerusuhan di Bombay pecah sehingga harus berhenti. Sebagian besar dia menuangkan kisah pribadinya saat di penjara di Yeravda.

Sampul Buku

Gelar “Mahatma yang Melukai”

Sempat ada kegamangan dalam diri Gandhi, apakah ia harus menulis atau tidak sebuah autobiografi. Karena ada anggapan bahwa orang yang telah membentuk tingkah laku mereka berdasarkan pengaruh kata-kata Anda, yang dikatakan maupun dituliskan, bisa tertipu? Bukankah lebih baik bagi Anda untuk tidak menulis apapun yang menyerupai sebuah autobiografi, untuk saat ini?”. Argumen ini sangat memengaruhi jiwanya, namun dia memiliki alasan lain kenapa autobiografi penulis ini ada.

“Saya yakin atau bagaimanapun juga membujuk diri saya bahwa kaitan nilai dari semua eksperimen ini pasti memiliki nilai tambah bagi pembaca, eksperimen saya dalam bidang politik sekarang tak hanya diketahui di India, tapi mencapai batas tertentu dari dunia yang “beradab”. Gelar “Mahatma” (orang yang sangat bijaksana dan suci,ed) yang telah mereka sematkan pada saya, memiliki nilai, karenanya, yang lebih rendah. Kerap kali gelar tersebut melukai saya secara mendalam,” ungkapnya jujur.

Gandhi merasakan betul bagaimana dalam hidupnya hampir tidak ada waktu yang menyenangkan untuk dirinya. Ia menarasikan bahwa eksperimennya dalam dunia spiritual hanya diketahui secara pribadi, yang mana dari situlah ia mendapat kekuatan bekerja di dunia perpolitikan.

Menurut Ghandi, jika eksperimen itu sungguh-sungguh spiritual, tak kan ada ruang untuk memuji diri sendiri. “Semakin banyak saya bercermin dan melihat kembali ke masa lalu, semakin jelas saya merasaan keterbatasan saya,” katanya merendah.

Sebagai sebuah autobiografi, buku ini sangat bagus untuk dibaca dengan sepenuh hati. Meskipun sangat tebal, namun buku yang terdiri dari lima bab ini setiap bab dipaparkan dengan singkat dan lugas. Setiap tutur katanya halus dan sangat hati-hati. Dia menjabarkan beberapa istilah dengan halus seperti kata eksperimen untuk pengalaman, atau kebutuhan jasmani untuk kebutuhan seksual.

Anak Pemalu yang mengawali karir sebagai pengacara

Di awal bab satu, Gandhi menceritakan asal usul keluarganya yang berasal dari Kasta Bania, yang merupakan keluarga pedagang. Namun selama tiga generasi, mulai dari kakek hingga ayahnya menjadi perdana menteri di beberapa negara bagian Kathiawad. Sang ayah, Karamchand Gandhi atau Kaba Ghandi adalah anggota Dewan Rajasthnik.

Kaba Ghandi menikah empat kali berturut-turut setiap kali kehilangan istri karena meninggal dunia. Beliau memiliki dua orang putri dari pernikahan pertama dan kedua. Istri terakhir beliau, Pulitbai, memberinya seorang putri dan tiga orang putra. Ghandi adalah anak ketiga atau yang paling muda.

Ayahnya Kaba Ghandi adalah seorang penyayang dalam marganya, pecinta kebenaran, pemberani dan murah hati, namun pemarah. Ibunya, Pulitbai adalah sosok yang sangat religius. Tak pernah berpikir untuk makan sebelum melakukan sembahyang harian. Dia selalu melakukan Chaturmas (Ikrar untuk berpuasa dan semi puasa selama empat bulan musim penghujan).

“Ibu saya memiliki pengetahuan yang amat luas, beliau sangat memahami segala masalah negara, dan para wanita di dewan sangat mengagumi kecerdasannya,” tuturnya di bab awal. Dari pasangan inilah Ghandi lahir di Porbandar atau dikenal Sudamapuri pada 2 Oktober 1869.

Masa kecil Ghandi termasuk anak yang biasa saja dan sempat pindah sekolah mengikuti tugas ayahnya. Namun, sejak kecil dia termasuk sosok yang pemalu. “Saya sedemikian pemalu dan menghindari semua teman. Buku-buku dan pelajaran adalah teman sejati saya. Saya selalu berlari jika pulang, karena saya tak berani berbicara dengan siapapun. Saya bahkan khawatir kalau-kalau ada orang yang menertawakan saya,” tuturnya di halaman 7.

Sebagai seorang anak bungsu, Ghandi tidak dapat tunduk pada ayahanda. Dia terpaksa menikah muda. Cerita tentang pernikahan dini terasa pilu. Dengan terus terang dia sebenarnya sangat tidak ingin menceritakan bab ini.

“Saya sangat tidak berharap menulis bab ini, karena harus menelan pil pahit selama menulis. Akan tetapi jika saya pemuja kebenaran, saya tak bisa melakukannya. Adalah tugas yang menyakitkan untuk menuliskan tentang pernikahan waktu usia saya tiga belas tahun,” halaman 10.

Pada bab-bab berikutnya cerita Ghandi kian menarik bergulir indah. Setiap tutur katanya acapkali membuat kita berdebar, bahkan berdegup kencang. Kisah cintanya terhadap sang istri yang lugu, Kasturbai. Ikrar setia pasangan muda ini terasa indah yang dituturkan dengan bagus pada bab IV bagian I berjudul “Memerankan Peran Suami”.

“Jika saya harus sanggup bersetia pada istri, maka ia juga harus sanggup bersedia pada saya, pemikiran itu membuat saya menjadi seorang suami pencemburu, jelas saya tidak punya alasan untuk mencurigai kesetiaan istri saya, namun rasa cemburu tidak menunggu datangnya alasan,” ucap Gandhi.

Kecemburuan ini berlanjut saat Gandhi muda melanjutkan studi di Inggris. Sejak muda dia terlatih menjadi vegetarian. Bahkan terpilih menjadi Komite Eksekutif Perkumpulan Vegetarian.

Kesulitan praktik sebagai seorang pengacara, menarik untuk di simak di bagian XXV tentang ketidak berdayaannya mempelajari hukum. Ghandi telah mempelajari hukum, tapi tidak belajar bagaimana cara mempraktikkan hukum.

“Saya telah membaca dengan penuh minat “legal maxims” (peribahasa-peribahasa hukum, ed), tetapi tidak tahu bagaimana cara mengaplikasikannya dalam profesi saya. “Sic utere tuo ut alienum non laedas” (memanfaatkan kekayaanmu sebaik mungkin agar tidak mengganggu milik orang lain, ed),’ hlm 116.

Mantra Sebuah Buku dan Pengalaman di Penjara

Meskipun sempat mengalami hambatan dalam mempelajari ilmu hukum. Pada bab-bab berikutnya cerita semakin menarik karena berhasil menangani beberapa klien dan mengunjungi Afrika Selatan. Pada bagian empat, pada bab yang berjudul “Mantra Sebuah Buku” Ghandi menjelaskan tentang beberapa hal yang harus dilakukan dan dihindari dalam bekerja. Tidak hanya bekerja sebagai pengacara tapi juga dalam bekerja sosial.

Konsistensinya sebagai seorang pengabdi kebenaran betul-betul di uji dalam keseharian. “Sekarang saya sadar jika seorang pekerja sosial tidak boleh mengucapkan pernyataan yang belum ia pastikan terlebih dahulu. Di atas semua itu, seorang pengabdi kebenaran harus melatih kehati-hatian yang besar. Selain mengkritisi beberapa media asing dan India, sebuah buku juga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hidup Ghandi.

Salah seorang teman bernama Tuan West (Gandhi memanggilnya), memberinya sebuah buku untuk dibaca sepanjang perjalanan di kereta yang ia katakan jika membaca buku ini, Gandhi pasti menyukainya. Judul buku itu adalah “Unto The Last” Karya Ruskin. Saat itu ia sedang berada di Afrika Selatan.

Buku ini sangat bagus, menurut Ghandi, buku itu berhasil merubah hidupnya. “ Buku ini mencengkeram saya, Johannes-Durban merupakan perjalanan selama dua puluh empat jam. Kereta itu sampai di sana pada malam hari. Saya tidak bisa tidur malam itu. Saya memutuskan untuk mengubah hidup saya menurut konsep ini,” halaman 432.

Bagi Gandhi ini merupakan buku Ruskin pertama yang ia baca. Selama masa pendidikan ia praktis tidak membaca apapun selain buku-buku teks. Bagaimanapun Gandhi menyadari jika dia mengalami kerugian karena pembatasan yang dipaksakan ini. Gandhi pun menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Gujarat, memberinya judul Sarvodaya (kesejahteraan untuk semua).

Selain pengalamannya bergulat dengan buku, pada bab lain, Gandhi juga menceritakan tentang pengalamannya di penjara pada tahun 1908, ditulis pada bab bejudul Satyagraha Domestik. Gandhi melihat beberapa peraturan yang harus dipatuhi para tahanan juga seharusnya secara sukarela dipatuhi oleh seorang “Brahmachari”, yaitu orang yang berniat melaksanakan pengendalian diri.

Peraturan-peraturan itu, contohnya adalah peraturan yang mengharuskan makanan terakhir dihabiskan sebelum matahari tenggelam. Baik tahanan India maupun tahanan India maupun Afrika tidak boleh minum kopi dan lain sebagainya.

Perkembangan politik di India banyak di kupas di bab V. Dari mulai Shantiniketan, Para Penumpang kelas tiga, Kumbha Mela,, Lakshman Jhula, Pendirian Ashram, Ketiga Gubernur Baik Hati, Hasrat untuk bersatu, Navajivan dan Young India, khilafat Lawan perlindungan Sapi, Kongres Amritsar, Kampanye Perekrutan, Dialog yang mengandung pelajaran dan lain sebagainya.

Saya tidak akan banyak menyoroti permasalahan politik di India. Karena pembahasannya saya sangat panjang, sehingga membacanyapun agak sedikit sukar karena kurang paham sejarah dan bahasa gujarat yang beraneka macam membuat saya harus membolak balik buku dan mencari makna. Bagi yang mengikuti sejarah India, tentu menarik karena permasalahan masa itu sangat pelik. Dari wabah hitam, kemiskinan petani, hingga pegawai kontrak.

Resolusi mengenai persatuan Hindu Muslim, penghapusan kaum paria dan khadi juga diajukan ke dalam kongres ini, semenjak menjadi amggota Kongres yang beragama Hindu telah menerima tanggung jawab untuk melepaskan agama Hindu dari kutukan kaum paria, dan Kongres telah menetapkan ikatan hubungan yang nyata dengan “kerangka” India melalui Khadi. Pemilihan tidak bekerjasama demi khilafat sendiri merupakan sebuah usaha praktis yang hebat yang dilakukan oleh Kongres untuk mewujudkan persatuan Hindu-Muslim.

Gandhi menguasai beragam agama di luar Hindu, yaitu Islam dan Kristen. Secara terbuka dia menulis dengan sederhana, beberapa ajaran agama yang ia pelajari, termasuk Al-Qur’an dan Bible (injil).

“Saya membeli Qur’an terjemahan Sale dan mulai membacanya. Saya juga mendapatkan buku-buku tentang Islam lainnya. Saya berkomunikasi dengan kawan-kawan Nasrani di Inggris, salah satunya Edward Maitland dan berkorespondensi dengannya. Ia mengirimkan saya “The Perfect Way” dan “The New Interpretation of Bible” (Penafsiran Baru dari Injil),” tulis Gandhi dalam autobiografinya.

Selain itu Gandhi atau ada juga orang yang memanggilnya Bapu, menyukai karya-karya Tolstoy seperti “The Kingdom of God is Within You”. Juga beberapa buku lokal India seperti Panchikaran, Maniratmala, Mumuksu Prakaran dan Yogavasistha.

Empat Ajaran Utama M.K Gandhi

Dalam pembahasannya berkaitan dengan perjuangan Gandhi selama ini, setiap upaya perjuangan yang dilakukan, ada upaya yang sangat kuat dari Gandhi untuk membela penduduk India dari kemiskinan.
Dalam setiap rangkaian kehidupannya, Gandhi sebagai tokoh perdamaian dikenal dengan empat prinsip perdamaian. Yakni pertama, Bramkhacharya (mengendalikan hasrat seksual), Satyagraha (Kekuatan kebenaran dan cinta), Swadeshi (memenuhi kebutuhan sendiri) dan Ahimsa (tanpa kekerasan terhadap semua mahluk).

Satu hal yang menjadi ciri khas Gandhi adalah empatinya merasakan penderitaan rakyat. Meskipun menangani kasus-kasus besar di beberapa negara, namun kemana-mana ia lebih senang berjalan kaki dan naik kereta kelas ekonomi sejak kuliah di Inggris dan menjadi pemimpin berpengaruh di India. Begitu juga dalam berpakaian, dia memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki para pemimpin lain di dunia. Wujud kesederhanannya sangat terpatri di dalam benak rakyat India.

Menurut Gandhi, Kebenaran hanya akan diikuti oleh perwujudan Ahimsa sepenuhnya. Untuk bisa melihat universalitas dan penyebarluasan Roh Kebenaran secara langsung, maka seseorang harus bisa mencintai mahluk terjahat sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan orang yang mencita-citakan hal itu tak sanggup menghindar dari perjuangan dalam hidup.

“ Itulah sebabnya pengabdian saya kepada kebenaran telah telah menarik saya ke bidang politik; dan saya bisa berkata tanpa ragu, tapi dalam segala kerendahan hati, bahwa mereka yang mengatakan jika agama tak ada hubungannya dengan politik tak tahu apa arti agama,” tulis Gandhi mengejutkan saya di bab penutup.

Perjuangannya dalam menegakkan kebenaran dilakukannya hingga akhir hayat. Dengan satir dia menulis. “ Biarlah ratusan orang macam saya ini mati, namun biarkan kebenaran menang, janganlah kita mengurangi standar kebenaran bahkan sehelai rambut pun dalam menilai mahluk fana yang berdosa ini,” pungkasnya.

Teladan Gandhi memang sangat fenomenal, luar biasa. Banyak sekali buku yang membahas tentang sosok dia.

Bahkan, seorang sejarawan Amerika Serikat, Stanley Wolpert, menulis buku yang ia pelajari dari autobiografi M.K.Ghandi ini berjudul Gandhi’s Passion The Life an Legacy of Mahatma Gandhi yang diterbitkan oleh Penerbit Raja Grafindo Jakarta dengan judul “Mahatma Gandhi Sang Penakluk Kekerasan,” yang terbit pada tahun 2002 disertai dengan kisah yang tragis di akhir hidupnya.

Buku autobiografi ini memang sudah sulit dicari. Saya menemukannya tidak sengaja di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten. Di Perpustakaan ini ada beberapa biografi tokoh dari Hitler, Bung Karno, hingga Jack Ma. Mungkin bisa didapati juga di perpustakaan atau di toko buku.

Jakarta, 27 Februari 2017
Pukul 15.31

Leave a comment