Posts Tagged ‘Abedaljabiri’

MENGARUNGI PERJALANAN SPIRITUAL-INTELEKTUAL

Judul: Bahkan Malaikat Pun Bertanya
Penulis: Dr Jeffrey Lang
Pengantar: Jalaluddin Rahmat
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Cetakan Pertama: Oktober 2000
Tebal: (xix + 302) halaman

Buku Jefrey Lang

Buku Jefrey Lang

Buku Bahkan Malaikat pun Bertanya ini berangkat dari keprihatinan penulisnya setelah melihat banyak orang Islam di negerinya menghindari atau bahkan mengingkari agama itu, lantaran tak mampu mendamaikan agama yang mereka warisi dengan pandangan Barat sekuler yang mereka peroleh.
Fenomena yang sesungguhnya melanda nyaris semua negeri muslim ini telah membelah umat Islam ke dalam dua kubu yang berlawanan: mereka membekukan dirinya dalam tradisi lama dan mereka yang mengekor pada peradaban Barat.

Yang pertama memandang pemikiran Islam terdahulu sebagai rujukan ideal, dan yang kedua melihat Barat sebagai puncak peradaban. Yang pertama kaum fundamentalis, sedangkan yang kedua kaum liberal.

Kedua kelompok itu sama “menyesatkan”. Agar tidak terperangkap dalam bahaya itu, lewat buku yang dalam peringkat Amazon.com mendapat bintang lima ini penulis menganjurkan umat Islam senantiasa mengembangkan sikap kritis. Baik dalam memandang realitas faktual yang muncul, maupun dalam memahami pesan-pesan Islam itu sendiri.

Kesan bahwa Islam itu agama orang Arab adalah salah satu stereotip yang populer di Barat. Disebut stereotip karena, kesan-kesan itu terus bertahan walaupun “survei membuktikan” bahwa lebih dari 85 persen umat Islam itu bukan Arab.

Betulkah kita harus menjadi orang Arab untuk menjadi Muslim yang baik? Betulkah nama apapun sebaiknya harus diganti dengan nama Arab, bila masuk Islam atau naik haji?

Hal seperti itulah yang mengusik Jeffrey Lang, ketika ia masuk Islam. Ia memutuskan tidak mengganti namanya, seperti Cassius Clay yang menjadi Muhammad Ali. Ia juga tidak melepaskan dasi dan jasnya untuk ditukar dengan jubah dan sorban seperti Cat Steven, yang mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. Ia juga tak pernah mengubah Thank God sebagai pengganti Alhamdulillah.

Menurut mualaf Amerika penulis buku terkenal Struggling to Surrender (telah di Indonesiakan menjadi Pergumulan Menuju Kepasrahan, Serambi, Juni 2002) ini, cara yang paling efektif untuk menghadapi bahaya itu bukan mencegah timbulnya pertanyaan atau kritik.
Kita harus selalu bertanya dan mempertanyakan, katanya. Bahkan malaikat yang sangat dekat dengan Tuhan pun bertanya! Mereka “berani” mempertanyakan kebijakan Tuhan menunjuk khalifah di muka Bumi: Apakah Engkau akan jadikan disana makhluk yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah.

BUKU ini membawa pembaca mengarungi perjalanan spiritual intelektual dengan mendiskusikan konflik-konflik yang terjadi antara agama dan akal, rintangan-rintangan yang dipasang oleh kaum Muslim sendiri yang menghalangi orang untuk memeluk Islam, ekstremisme dalam komunitas Islam, dan lain-lain.

Bahkan Malaikat Pun Bertanya, memiliki arti umum yang sangat penting, ditulis dengan sangat bagus (orang mungkin tidak mengira bila penulisnya seorang guru besar matematika), dan merupakan hasil dari kajian yang baik.

Memang buku ini adalah gambaran hidup tentang bagaimana Jeffrey Lang begitu tertarik kepada Islam tanpa terbendung lagi. Namun, buku ini juga menawarkan suatu program yang solid dengan menawarkan alasan yang baik bagi semua orang Amerika lainnya memerlukan kajian rasional yang luas dan mendalam sebelum berserah diri pada Allah.

Perjalanan spiritual Dr. Lang menjadi terkesan unik dan menarik ketika ia ingin meninggalkan watak keamerikaannya dan menjadi Muslim. Ia gagal. Tetapi, ia berhasil menemukan pencerahan baru: no escape from being an american. Ia tidak perlu lari dari ke-Amerikaannya.

Menjadi Islam tidak berarti harus menanggalkan semua latar belakang budaya. Islam tidak pernah datang dari suatu vakum kultural. Karena itu, maka ditemukanlah Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam Cina, Islam Indonesia. Dan mengapa tidak boleh ada Islam Amerika?

Akan tetapi, jika kita menerima usulan Lang, tidakkah jatuh pada hambatan besar: mengekor Barat? Memang disamping kaum fundamentalis yang mengekor kebudayaan Arab, kita juga menemukan kaum liberal yang mengekor Barat sebagai puncak peradaban.

Terlepas dari jebak-jebakan itu, Dr Lang menganjurkan agar kita tetap mengembangkan sikap kritis. Ia menulis pada bab 2 buku ini: “Cara paling efektif untuk menghadapi bahaya itu bukanlah mencegah timbulnya pertanyaan atau kritik, melainkan justru harus sebaliknya. Komunitas Muslim harus terus mendorong kedua hal itu. Kita cenderung berbuat salah manakala kita tidak mau bersikap kritis pada diri sendiri”.
***
MEMBACA buku ini dari awal sampai akhir adalah mengikuti perjalanan spiritual, bukan saja seorang Muslim Amerika, tetapi juga perjalanan intelektual Muslim di mana pun ketika ia dihadapkan pada kegelisahan karena benturan Islam konseptual dan Islam aktual.

Dalam buku ini juga dijelaskan tentang perspektif orang non-Muslim tentang Ramadhan. Mereka menilai bahwa puasa merupakan ibadah ritual yang paling keras dalam Islam (hlm 216).
Namun perlu diperhatikan, bahwa ada beberapa kekhawatiran dari buku ini, yakni dapat menjerumuskan pembaca non-Muslim pada kesan keliru dan sepihak tentang kaum Muslim. Boleh jadi pemburukan media Barat atas citra kaum Muslim dan agama mereka.

Jeffrey Lang menulis dengan sangat persuasif. Ia meyakinkan kita tidak saja dengan argumentasi yang logis dan tidak terbantahkan, bukan hanya dengan dalil akli (berdasarkan akal) dan nakli (berdasarkan Al-Qur’an).

Uraian Dr Lang dalam buku ini juga menyentuh emosi kita dengan kisah-kisah yang terkadang jenaka, terkadang mengharukan. Bisa dibaca oleh siapa saja dan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan serius maupun ringan.

(Eva Rohilah, mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Ini adalah tulisan pertama saya yang dimuat di harian Kompas edisi 11 Maret 2001, waktu itu ditelepon sama Pak Dewa Brata Redaktur Pustakaloka yang terbit setiap Senin, dari sini pula saya diberi beberapa buku baru dari Penerbit Serambi yang Chief Editornya Pak Qamaruddin SF, setelah saya kerja di Pustaka Alvabet jadi mitra kerja sesama penerbit.

JUNJUNGLAH TINGGI SISTEM NILAI YANG EGALITER

Judul: Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan
Penulis: Dr. Irwan Abdullah
Editor: Ana Samsuri
Penerbit: Tarawang Press Yogyakarta
Cetakan 1 Maret 2001
Tebal: (xvi + 222) halaman

Buku Irwan Abdullah

Buku Irwan Abdullah

Diawali dengan ide dan gagasan RA Kartini lewat buku Habis Gelap terbitlah Terang perjuangan perempuan untuk kesetaraan hak sampai kini terus bergulir. Bahkan, belakangan ini wacana itu menjadi semakin marak, lantaran dalam rentang waktu yang demikian panjang dan lama, perempuan menuju persamaan hak belum juga mencapai klimaks.

Dalam struktur yang hegemonik sekalipun, sesungguhnya perempuan melakukan pilihan bagi hidupnya. Perempuan bukan pihak yang menerima begitu saja kenyataan hidup.

Akan tetapi, mengapa dalam praktik sosial, perempuan mau mengalah atau dikalahkan? Kesalahan utama yang dilakukan para politisi, peneliti, dan kaum feminis, adalah mereproduksi struktur patriarirkal dengan menekankan wacana ketimpangan jender, perempuan sebagai makhluk yang lemah, tergantung, halus, dan sebagainya.

Dengan cara itu sesungguhnya kita tidak melakukan apa-apa untuk kesejahteraan perempuan. Sebaliknya, perempuan malah tersubordinasi secara terus menerus oleh wacana yang dibangun orang-orang yang sangat ingin membantu perempuan sekalipun
***
Buku Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan ini terdiri dari empat bagian, atau sebelas bab. Ditulis dengan saksama oleh dosen Fakultas Sastra UGM yang sangat tertarik pada masalah perempuan sejak mahasiswa. Penulis itu Dr. Irwan Abdullah, seorang feminis kelahiran Aceh Utara 37 tahun yang lalu.

Melalui bukunya tersebut ia berusaha membawa pembaca mengikuti dua arus besar yang melanda dunia ketiga. Dalam ranah sosial, pembicaraan mengenai perempuan telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan pada saat konsep “jender” digunakan sebagai perspektif. Jender lebih menunjuk kepada relasi dimana kaum lelaki dan perempuan berinteraksi.

Hal tersebut menjadi rumit tatkala perempuan memainkan berbagai peranan sekaligus. Perempuan ideal kemudian menjadi superwoman yang memiliki kapasitas domestik dan diharapkan memiliki kapasitas dalam bidang publik secara sempurna. Posisi laki-laki disini tampak cenderung tidak digugat.
Secara implisit dinyatakan bahwa peran publik merupakan tanda kemerdekaan perempuan, dan peran domestik digugat karena dianggap telah memenjarakan perempuan. Cara-cara seperti ini sesungguhnya ikut mereproduksi realitas tentang stratifikasi sosial.

Dalam proses migrasi dari domestik ke publik, perempuan harus mengeluarkan biaya ideologi yang begitu besar. Perempuan tidak hanya harus memiliki kualitas yang sama dengan laki-laki untuk memenuhi kriteria sebuah pekerjaan, tetapi juga harus cantik dan menawan. Bukankah ini sekaligus pelecehan terhadap perempuan.

Pada bagian lain, arus balik yang terjadi berasal dari realitas ekonomi. Hal ini berawal dari penandaan tubuh perempuan yang terbingkai dalam fungsi biologis reproduktif ke arah fungsi ekonomi demi ekspansi kapital. Tubuh dan hasrat digunakan sebagai titik sentral produk yang disebut sebagai ekonomi libido.

Pembahasan soal itu menjadi menarik ketika menyangkut masalah tubuh perempuan dalam iklan dan rimba laki-laki. Stigma ini cukup diimbangi dengan peranan perempuan dalam berbagai sektor ekonomi.

Resensi Edisi Cetak di Harian Kompas

Resensi Edisi Cetak di Harian Kompas

Imbangan itu antar lain tampak dari hasil penelitian tentang bagaimana peranan perempuan dalam pasar, pedesaan, dan kerajinan rumah tangga yang lebih menenkankan pada aspek mobilitas dan mengangkat marginalitas profesi seperti bakul (penjaja), tukang jamu. Bahkan juga peranannya dalam home industry.
***

Pesan utama dari penulis adalah bahwa usaha perbaikan kehidupan perempuan bukan usaha memerangi laki-laki tetapi mengubah sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai objek. Perubahan ini akan terjadi apabila bertumpu pada struktur yang menjunjung tinggi sistem nilai dan ideologi yang egaliter.

Kekuatan utama buku ini pada epilog yang merupakan rajutan dari berbagai bab. Masing-masing bagian digarap secara serius karena beberapa bahan dalam buku ini hasil penelitian lapangan serta riset perpustakaan yang dilengkapi dengan data kuantitatif yang cukup akurat.

Disamping itu ada terobosan yang cukup berani untuk melakukan penyegaran, penyusuran, dan penggerusan yang cukup mendalam atas kompilasi wacana yang telah ada, kritikan terhadap kaum feminis, sampai sindiran yang tajam terhadap kaum oportunis.

Sayangnya ada satu kelemahan yang cukup fatal, yaitu tidak seimbang (equal) antara judul buku dengan substansi, yakni dimensi seksisme kurang begitu disentuh secara mendalam. Ulasannya teramat singkat hanya sebatas retorika dan obyektivitas reproduksi dalam kaitannya dengan kekuasaan lelaki.

Hal itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran editor yang kurang memperhatikan grand opinion dan tidak fasih dalam menerapkan gaya penulisan ilmiah sehingga buku ini terkesan kaku meskipun alur penulisannya dari awal hingga akhir menarik.

Akan tetapi, setidaknya, sampul bergambar RA Kartini yang melankonis akan sedikit mengeliminir kelemahan buku ini. Yang jelas, dengan kelebihan dan kekurangannya itu, buku ini telah menambah panjang koleksi buku feminis. Siapapun yang peduli akan nasib, pendidikan, dan masa depan perempuan akan memperoleh manfaat dari buku ini.
(Eva Rohilah mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Dimuat di Harian Kompas edisi 28 Mei 2001

JANGAN LUPAKAN TRADISI

Judul: Agama, Negara, dan Penerapan Syariah
Judul Asli: Ad-Din Wa Ad Daulah wa Tathbiq As-Syari’ah Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah (Beirut 1996)
Penulis: Muhammad Abed Al Jabiri
Penerjemah: Ulin Nuha
Penerbit: Fajar Pustaka Bru, Yogyakarta
Cetakan I, September 2001
Tebal: (xxxvi + 201) halaman

Buku Abed Al-Jabiri

Buku Abed Al-Jabiri

MUHAMMAD Abed Al-Jabiri seorang pemikir terkemuka Arab saat ini yang mengangkat berbagai gagasan segar dalam rangka kebangkitan Islam, khususnya di lingkungan negara Arab. Ia punya analisa yang cukup signifikan terhadap masalah yang menyita kaum muslim tentang hubungan negara dan agama.

Masalah itu menjadi mendesak karena kemunculan negara-negara bangsa (nation state) dan berhembusnya semangat sekularisme yang dibawa Barat Modern. Dia mengemukakan pertanyaan apakah Islam itu agama atau negara merupakan pertanyaan palsu karena diajukan oleh kebudayaan Barat dengan segala pengakuan historis yang dilaluinya, bukan cermin realitas kaum Muslim sendiri.

Menurut Al-Jabiri, kalau mau jujur menelaah Al Qur’an dan sejarah Islam, kita akan menemukan fakta bahwa Islam tidak pernah menentukan jenis dan bentuk negara. Rujukan historis maupun praktis tentang kenegaraan Islam hanya ada pada praktik sahabat Nabi SAW, yang menurut dia, itu hanya suatu ijtihad.

Oleh karena itu, sesuai perkembangan zaman, Al-Jabiri dengan tegas mengatakan bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang niscaya bagi kaum Muslim untuk masa kini dan masa depan. Meskipun dia tidak naif dengan mengatakan bahwa para sahabat Nabi SAW telah mempraktikkan demokrasi melalui ajaran syura yang dianggap mempunyai urgensi yang sama dengan demokrasi.

Jika negara itu demokratis, bagaimana dengan penerapan syariah, bagaimana meletakkan syari’ah dalam sebuah negara demokrasi? Al-Jabiri kembali membongkar tradisi dan sejarah secara rasional. Baginya, praktik kenegaraan dan penerapan hukum syariah harus dikaji dan ditelaah secara mendalam. Di sini hukum Islam dianggap sebagai hukum yang hidup (the living law) dan menjiwai setiap aturan tanpa memaksakan simbol sebagai suatu ciri yang otentik.

Buku yang merupakan terjemahan dari kumpulan artikel dari Bahasa Arab ini ditulis oleh Abed Al-Jabiri yang dewasa ini pemikiran dan gagasan-gagasannya dibicarakan oleh kalangan intelektual Muslim berkenaan dengan semakin menguatnya wacana post tradisionalisme Islam dan kajian tentang Islam Liberal.
***

TIDAK ada salahnya jika sebelum membaca buku ini akan diperkenalkan terlebih dahulu tentang sosok Al-Jabiri.
Intelektual Muslim kelahiran Maroko tahun 1936 ini menempati posisi garda depan pemikiran Islam Arab kontemporer, sederajat dengan Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hamd Abu Zayd, Bassam Tibi, Muhammad Imarah, Fatima Mernisi, Adonis. Al-Jabiri sering menulis berseri di beberapa harian ternama Timur Tengah, seperti Al-Syarqah Ausath.

Dalam suatu kesempatan pada waktu seminar di Berlin, Jerman, yang diselenggarakan oleh Federich Ebert Stiftung pada tahun 1996, Al-Jabiri bertemu dalam satu forum dengan Abdurrahman Wahid dan Fatima Mernissi yang sama-sama berbicara tentang Civil Society In the Moslem World.

Edisi Cetak Harian Kompas

Edisi Cetak Harian Kompas

Salah satu tulisannya yang terkenal adalah Naqd al-Aql al’Arabi (Kritik Nalar Arab) yang mejadi perdebatan di kalangan intelektual Muslim karena berbeda dengan “Kritik Nalar Islam” Arkoun. Dalam bahasannya itu, jelas sekali pemikirannya tentang perubahan makna akal tersebut banyak dipengaruhi oleh tokoh filsafat Perancis seperti Jacques Lacan, Althusser, Jacques Derrida, Roland Barthes, dan Michael Foucoult.

Hingga kini tulisan-tulis Al-Jabiri bentuk buku telah mencapai angka belasan. Salah satu kumpulan tulisannya di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Baso bejudul Post Tradisionalis Islam (LKiS Yogyakarta, 2000) banyak mengulas tentang pejalanan intelektual Al-Jabiri dan relevansi tradisi dalam pemikiran Islam kontemporer.
***

DALAM penuturannya yang cukup lugas lewat buku ini terasa kepeduliannya terhadap tradisi (al turats) cukup kental dan mewarnai uraiannya. Salah satu persoalan krusial saat ini bagi kebangkitan Islam adalah bagaimana menyikapi tradisi dalam kehidupan bernegara dan beragama yang telah diwariskan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah.

Menurut Al-Jabiri ada dua hal penting yang menyertai kekinian, yang tetap hadir dalam kesadaran atau ketidaksadaran kita, dan kedua adalah tradisi yang mencakup kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat dan sains.

Sikap kaum Muslim terhadap tradisi mempunyai corak yang berbeda, ada yang menolak apa saja yang bukan dari tradisi Islam karena apa yang ada dalam tradisi tersebut dinilai sudah memadai. Seperti ulama konservatif dan mereka yang justru tidak memiliki pengetahuan yang memadai karena dididik oleh tradisi lain yang sudah memadai.

Kedua, mereka yang menganggap bahwa tradisi sama sekali tidak memadai dalam kehidupan modern saat ini, karena itu harus dibuang jauh-jauh. Kelompok ini adalah mereka yang berpikiran sekuler dan liberal ala Barat sehingga menganggap kebangkitan tidak akan bisa dicapai kecuali mengikuti pola Barat.

Kedua sikap tersebut menunjukkan sikap yang saling bertolak belakang (ekstrem). Oleh karena itu Al-Jabiri mencoba mencari jalan keluar dari dua sikap ekstrem itu dengan tawaran agar kita berusaha bersikap dan berpijak pada tradisi. Namun, tentu bukan dalam kerangka tradisi kita melebur didalamnya dengan segenap gerak dan gelombangnya, tetapi lebih diperlakukan sebagai produk kebudayaan manusia, sebagai produk ilmiah yang senantiasa berkembang.

Dari sini kita belajar berpijak pada tradisi kita sendiri secara sadar, kritis, dan rasional. Di Indonesia pemahaman tentang konsep ini sekarang sedang aktual diwacanakan sebagai “post tradisionalisme”.
***

BUKU yang terdiri dari dua bagian ini berusaha memposisikan hubungan agama dan negara dalam rujukan tradisi dan kebangkitan (renaissance). Penerapan syari’ah diulas secara mendetail, mulai salafisme sampai dengan ekstremisme, antara akidah dan syari’ah, juga diusahakan merasionalkan hukum-hukum syari’ah (hlm 168).

Beberapa kritik terhadap Mazhab Syafi’i, dan ajakan untuk menolak hukum (hudud) berdasarkan argumen ketidakjelasan, akan menjadi wacana yang menarik ketika hukum diletakkan dalam posisi agama dan negara, dengan memperhatikan tradisi dan budaya lokal.

Metode telaah kontemporer yang diajukan Al-Jabiri, merupakan sebuah terobosan yang cukup penting dan aktual dengan kondisi tanah air kita. Selama ini banyak orang yang menelaah tradisi untuk mencari sandaran otoritas belaka tanpa menyadari dimensi historis dan ideologis yang melahirkan tradisi itu.

Dalam hal ini sikap terbuka Al-Jabiri terhadap demokrasi dan HAM dengan tanpa sedikit pun merasa terancam dengan kehilangan identitas keislamannya, juga merupakan satu hal yang patut diperhatikan.

Dalam hal tersebut strategi Al-Jabiri untuk mendudukkan pemikiran Barat dan Islam pada mekanisme dan historitasnya masing-masing, adalah sesuatu yang diambil dari semangat Ibn Rusyd dalam menjelaskan hubungan agama dan filsafat. Itu boleh dibilang sebagai merupakan strategi yang cukup menjanjikan.

Terlepas dari sampulnya yang kurang begitu menarik, isi buku ini akan sangat bermanfaat bagi khazanah intelektual Muslim, sebagai wacana alternatif dalam membincangkan kembali agama, negara, dan penerapan hukum (syari’ah) secara proporsional, tanpa melepaskan tradisi, pluralisme, dalam dinamika pergolakan pemikiran Islam kontemporer.

• EVA ROHILAH
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Dimuat di Harian Kompas edisi 22 Maret 2002

Judul: Kaum perempuan dan Ketidakadilan Sosial
Judul asli: Woman and Social Injustice
Penulis: Mahatma Gandhi
Alih Bahasa: Siti farida
Penyunting: Kamdani
Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta, Cetakan I, Juni 2002
Tebal: xxi+ 443 halaman + indeks

Sampul Buku

Dilema Kaum Perempuan dalam Menciptakan Perubahan

DI dalam sejarah, tidak ada seorang pemimpin yang memiliki pengikut sedemikian besar dalam masa hidupnya, baik di negerinya sendiri maupun di seluruh dunia, seperti Mahatma Gandhi. Dan, tak ada seorang pria yang bisa membangkitkan pengabdian dengan segenap ketulusan hati bagi kaum perempuan, selain Gandhi.

Alasan dari semua ini tidaklah sulit dicari. Gandhi memiliki kapasitas diteladani atas kesediaannya untuk menjadikan dirinya sebagai alas kaki bagi orang lain, terutama bagi orang-orang yang tengah berada dalam ketertindasan dan ketidakberdayaan.

Selain dikenal sebagai Bapak Anti Kekerasan (ahimsa), Gandhi adalah pejuang paling gigih yang membela kaum perempuan. Tak ada seorang pria pun yang pengabdiannya untuk menjunjung martabat perempuan sebesar Gandhi. Gandhilah yang mendudukkan kaum perempuan India sejajar, bahkan lebih tinggi, dari kaum pria. Kata-kata Gandhi selalu bertenaga, didengar, dan dilaksanakan pengikutnya, karena ia selalu menjadi implementator pertama dari apa yang dikhotbahkan. Ia selalu memulai pembaruan dari dalam dirinya dan keluarganya sendiri.

Dalam konteks pembaruan dan penegakan kebenaran, Gandhi menjadi pengkritik yang keras dan tanpa ampun bagi dirinya sendiri, yaitu pada saat dia menyadari dirinya menjadi “pemilik budak” (ini adalah sebutan Gandhi yang ditujukan kepada dirinya sendiri). Maka sikap beliau terhadap istrinya menjadi berubah, dan dengan perubahan tersebut, beliau memulai karya dan perjuangan bagi emansipasi kaum perempuan secara keseluruhan.


GANDHI selalu berbicara tanpa mengenal takut menentang sistem yang memaksakan status janda, purdah, persembahan gadis-gadis pada kuil-kuil, perbudakan ekonomi, dan perkawinan terhadap kaum perempuan.

“Pria dan perempuan statusnya sama”. Saya tidak akan pernah berkompromi dalam hal hak-hak perempuan. Dalam pandangan saya, kaum perempuan seharusnya bekerja di bawah undang-undang yang melegitimasi kelemahan kaum perempuan secara tidak sah, tetapi tidak diperlakukan kepada kaum pria. Saya harus memperlakukan anak laki-laki dan perempuan dengan berpijak pada kesetaraan yang sempurna. “Berpikir bahwa smriti (ajaran yang berisi aturan-aturan tak tertulis) mengandung teks-teks yang membolehkan seorang pria untuk tidak menghormati dan menghargai kemerdekaan kaum perempuan sebagai mana kemerdekaannya sendiri dan menghormatinya sebagai ibu bangsa, ini adalah sesuatu yang memalukan”. Perkataan yang dihubungkan dengan manu, yaitu bahwa “bagi kaum perempuan tidak ada kemerdekaan”, bagi saya (Gandhi) bukanlah kata-kata suci”.

Ungkapan-ungkapan di atas tak lain adalah beberapa cuplikan kalimat dari tulisan-tulisan Gandhi atas nama kepentingan kaum perempuan yang tertindas.


PADA saat ini, persoalan kekerasan versus antikekerasan adalah sesuatu yang sangat penting. Pesan Gandhi adalah seruan yang nyaring bagi orang-orang yang meyakini antikekerasan sebagai jalan lintas yang paling cepat dan dekat untuk menuju ke surga, untuk mengerahkan kekuatan di sisinya.

Ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan Gandhi atas nama kepentingan kaum perempuan telah membangkitkan perasaan tanggung jawab bagi setiap pencinta kemanusiaan dan bahkan orang konservatif yang paling keras sekalipun. Karya-karya Gandhi sangat penting maknanya, terutama bagi kaum perempuan, karena semuanya menyentuh setiap aspek kehidupan mereka dan bisa berfungsi sebagai petunjuk yang tepat bagi kaum perempuan pada saat-saat sulit dan tertekan.

Yang terpenting, karya-karya Gandhi itu menyerukan kepada kaum perempuan akan kewajibannya-melahirkan dan mengabdi-bagi kemajuan kaum perempuan sendiri, bangsa, dan kemanusiaan secara luas. Semangat inilah yang harus ada bagi setiap perempuan yang membaca buku ini. Kita ada untuk mengambil keputusan zaman baru.

Buku ini merupakan terjemahan dari tulisan-tulisan Gandhi yang dipublikasikan di media massa India. Dalam buku ini, Gandhi mengungkapkan pikiran-pikirannya di sekitar kaum perempuan (kedudukan, peran, dan jasa) dan kelemahan alam budaya partiarkal. Dalam konteks sekarang, gagasan-gagasan Gandhi yang revolusioner perlu dikaji kembali dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan bahasa yang provokatif, buku ini secara lugas mampu mendedahkan berbagai macam persoalan perempuan. Dari mulai pendewaan yang salah terhadap kaum perempuan (hlm 55) sampai dengan cobaan berat bagi kaum perempuan (hlm 423). Semuanya diracik dalam suatu tulisan yang padat dan singkat, dan langsung menukik pada inti persoalan.

Meskipun dengan setting sosial India, apa yang ditulis dalam buku ini bisa juga terjadi di Indonesia, sehingga buku ini cukup representatif untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan (komparasi) untuk menganalisa permasalahan jender dan dinamika gerakan perempuan. Tidak menutup kemungkinan buku ini dijadikan sebagai sumber sekunder dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan posisi perempuan dalam perjuangannya untuk menuntut perubahan atau mengeliminir ideologi patriarki yang selama ini merasuk dalam berbagai dimensi kehidupan.

Kompas Minggu, 22 Desember 2002