Konsep Terpadu Perpustakaan Saidjah Adinda, Museum Multatuli dan Sentra Batik Lebak

Posted: March 16, 2018 by Eva in Artikel, Jalan-jalan, Perpustakaan, Seni, Film dan Budaya
Tags: , , , ,

Selama saya tinggal di Pondok Petir, Depok, berbatasan dengan Pamulang, belum sekalipun saya main ke Kabupaten Lebak. Padahal tempat tinggal saya  dekat Tangerang Selatan, termasuk dekat. Baru pada bulan Februari lalu saya berkunjung ke  Kabupaten Lebak, naik KRL (Commuter) dari Sudimara ke Stasiun Rangkas Bitung. Saya berangkat pagi-pagi sekali  dan ternyata memang  jauh sekali perjalanan dari Sudimara ke Rangkas Bitung lebih dari satu jam perjalanan.

Meskipun demikian, tidak ada salahnya jika anda bersama keluarga mengunjungi tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah di Provinsi Banten yang terkenal dengan penduduk aslinya Suku Baduy. Saya pun tidak menyesal berkunjung ke tempat ini, karena selain tempatnya mudah dijangkau (tidak jauh dari stasiun), datang ke sini juga anda (bebeunangan, bahasa Sunda-ed) artinya dapat banyak.

Kenapa dikatakan demikian, karena ada tiga tempat yang  anda bisa kunjungan yang terpusat di satu lokasi. Sehingga anda betah berlama-lama di sini. Pertama, mengunjungi perpustakaan Saidjah Adinda, setelah membaca koleksi buku, kemudian menonton film sejarah, kedua, berkunjung ke Museum Multatuli yang baru saja diresmikan dan sebelum pulang anda bisa mengunjungi cara pembuatan batik lebak yang berada persis di belakang museum, proses produksi, penjahitan sampai penjualan. Tidak ada salahnya, tempat ini menjadi salah satu tujuan wisata anda bersama teman, kerabat, atau keluarga, baik yang berada di Jakarta ataupun pinggiran ibukota.

Perpustakaan Saidjah Adinda

Moda transportasi untuk menempuh ke tiga lokasi ini lokasi  bisa naik apa saja. Dari jalan kaki, naik ojek, hingga angkutan kota. Para pengemudi beragam angkutan disana sudah hapal. Bilang saja nama lokasi yang berada di dekat alun-alun, persisnya di Jl.Alun-alun Timur No.6 Rangkas Bitung, Lebak.

Pertama yang saya kunjungi adalah Perpustakaan Saidjah Adinda. Desain arsitektur perpustakaan ini unik, dengan deretan buku yang beragam. Ada ratusan koleksi buku milik perpustakaan Saidjah Adinda ini, dari sejarah, agama, politik, pertanian, sosial, dan buku bacaan anak-anak.

Berikut beberapa koleksi buku Perpus Saidjah Adinda. Pak Ali Rahmat, meminjami saya buku  bersampul kuning berjudul Max Havelaar.  Dan saya pun membacanya meski tidak sampai selesai.

Saat saya berkunjung, koleksi majalah dan koran yang berada di lantai dua ramai dengan anak-anak yang masih usia SD yang bergiliran juga sambil bermain. Sedangkan koleksi buku dewasa tampak sepi, karena sedang jam kerja sehingga hanya ada beberapa petugas yang merupakan pegawai dan anak muda.

Usai makan siang, perpustakaan mengumumkan ada pemutaran film Max Havelaar, di ruang audiovisual. Saya pun berkunjung kesana, dimana studionya dibuat dari rangkaian bambu. Anak-anak SMA nampak sudah memenuhi studio, dan film pun sudah diputar. Dari film itulah saya mengenal siapa itu Saidjah Adinda yang menjadi nama perpustakaan. Sangat mengerikan tokoh Saidjah dalam film ini, dimana ia seorang perempuan anak petani yang mengenakan caping namun ditendang dengan kasar oleh kolonial dan menjalin cinta tidak sampai dengan Adinda. Lebih jelasnya tentang siapa itu Saidjah Adinda, anda bisa klik link di bawah ini. Saidjah Adinda

Film yang berdurasi cukup lama ini menarik untuk ditonton. Selain mengenalkan sejarah bagaimana Kawedanaan Lebak di zaman kolonial, anda akan lebih paham

Museum Multatuli

 

Setelah melihat koleksi buku, majalah, surat kabar, serta menonton film di Audiovisual, saya berjalan sedikit ke gedung sebelah kanan dimana di situ ada Museum Multatuli. Karena sudah menonton filmnya saya jadi tahu sedikit tentang siapa itu Multatuli, kaitannya dan Max Havelaar, dan alasannya kenapa diabadikan sebagai museum. Museum ini menyerupai rumah tua bercat putih tulang kombinasi kuning gading.

Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, asisten residen Lebak yang bermukim di Rangkasbitung pada Januari hingga Maret 1856. Berdasarkan pengalamannya di daerah tersebut, dia menulis sebuah novel berjudul Max Havelaar yang pertama kali diterbitkan pada 1860.

Dengan Max Havelaar, Multatuli ingin membuka mata dunia tentang busuknya kolonialisme di Hindia Belanda. Ide-ide itu menginspirasi tokoh-tokoh pendiri bangsa, seperti Soekarno, untuk memerdekakan Indonesia.

Sebagai karya monumental,  novel Max Havelaar, Kabupaten Lebak memutuskan untuk menjadikan bekas kantornya  dan kediaman Wedana Lebak yang dibangun pada 1920-an sebagai museum. Menurut Ubaidillah, Museum Multatuli ini direhab dan didesain ulang oleh arsitek dari IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia).

Sejak anda masuk di pintu depan anda akan tertegun dengan karya seni baik foto maupun karya seni lainnya, tentang eksistensi manusia. Sejarah kopi dan pertanian, puisi rendra, serta tokoh-tokoh pahlawan dari Lebak dan nasional. Hening dan senyap anda selama mengunjungi beberapa bagian museum yang dilengkapi dengan pidato tiada henti selama anda mengitarinya.

Tidak begitu besar memang isi dari museum ini, akan tetapi anek koleksi, foto, peta, alur sejarah sampai dengan karya Multatuli sangat lengkap dan padat. Sehingga anda tidak usah berlama-lama di dalam anda bisa larut dalam sejarah zaman kolonial. Jika anda perhatikan betul, akan banyak ilmu dan sejarah yang saya sendiri tidak tahu awalnya nama-nama tokoh antikolonial.

Usai mencermati dan mengambil gambar, saya keluar museum dengan wawasan baru dan banyak hal tentang museum Multatuli. Banyak spot-spot menarik di dalam musem dan luar museum, tapi tidak saya cantumkan disini, biar nanti anda berkunjung kesana saja hehehe…

 Sentra Batik Lebak

Hari sudah beranjak sore, jam tiga saya keluar dari museum. Berjumpa dengan Pak Ubaidillah di pintu belakang saat saya mau ke sentra batik Lebak yang persis berada di belakang Museum. Kita ngobrol sebentar dan sempat ambil gambar. Tidak lama kemudian saya melanjutkan perjalanan ke sentra batik Lebak. Sentra batik ini sangat luas dan terbuka.

Tiga orang anak muda sedang melakukan proses membatik. Ada yang mencap, ada juga dua orang yang mendampinginya. Beberapa batik yang sudah selesai digarap dijemur hingga kering. Setelah itu di sebelah barat ada lelaki setengah baya yang sedang menjahit batik lebak, berupa konveksi yang terhubung dengan pemasaran.

Di bagian depan sentra batik, ada toko yang menjual batik yang sudah jadi. Ada yang dalam bentuk pakaian maupun kain siap jahit. Unik dan bagus corak motif batik Lebak saya perhatikan warnanya cerah. Berikut beberapa koleksinya.

Usai dari Sentra batik, saya lapar dan berencana kembali ke Stasiun Rangkas Bitung untuk melanjutkan perjalanan nanti malam ke Serang. Cukup puas sudah dari pagi hingga sore saya mengitari tiga tempat ini, ada banyak kesan yang mendalam dan wawasan  baru di luar yang saya ketahui selama ini.

Seusai dari sentra batik, wah anak-anak pulang sekolah ramai sekali berkumpul di Museum Multatuli. Ada yang bercengkrama, ada juga yang berselfie ria. Di selasar museum ada juga sekelompok anak muda, sepertinya dari Jakarta sedang berdiskusi serius membentuk lingkaran.

Jadi tunggu apalagi, ini kan hari Jum’at,  besok akhir pekan tidak ada salahnya anda berkunjung ke tiga lokasi ini untuk berwisata sambil menambah wawasan,   sambil jalan-jalan atau menghabiskan akhir pekan.

Pamulang, 10.05 WIB

Comments
  1. rinairembulan says:

    Multatuli, tokoh yang saya kagumi juga.
    Semoga suatu saat bisa berkunjung ke sana.

Leave a comment